SUSUNAN PENGURUS HMI-MPO

Minggu, 30 Juni 2013 | 2komentar

SUSUNAN PENGURUS HMI-MPO

KOMFAK TARBIYAH UIN SUNAN KALIJAGA

PERIODE 1433-1434/2012-2013

TEMA KOMISARIAT:

“MEMBANGUN PROGRESIVITAS KADER MENUJU MAHASISWA ISLAM YANG KRITIS DAN MILITAN”

Ketua umum              : Abdul Ghefur
Sekretaris umum      : Cecep Jaenudin
Bendahara umum     : Moh Edi Komara

Unit Pengembangan Intelektual dan Pelatihan
Kepala Unit   : Emha Mujtaba
Anggota         : Ferly Ummul Muflihah
                       : Amelia Cahya Ningsih

Unit Hubungan Sosial dan Masyarakat
Kepala Unit   : Nur Rohman
Anggota         : Afi Farkhan Mansur
                       : Muhtadin

Unit Media dan Informasi 
Kepala Unit   : Feby Armal 
Anggota         : Rahmat Ibrahim 

Unit Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan 
Kepala Unit   : Mahfuzh 
Anggota         : Hamzah Dal Alif as-Sayyaf 

Continue Reading

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan (Sebuah Relevansi dengan Teologi Pembebasan)

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Cecep Jaenudin

 Pendidikan di negeri ini tidk pernah sepi dari berbagai isu yang mengitarinya. Kapitalisasi dan komersialisasi adalah dua diantara sekian banyak isu yang menjegal progresifitas pendidikan di negeri ini. Keduanya semakin menyuburkan kompetisi “liar” antar lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lainnya.

Potret pendidikan yang demikian itu semakin menghanyutkan pendidikan pada aspek ritual belakadengan biayanya yang kian melangit. Masih mending bagi mereka yang berduit. Ujung-ujungnya adalah orang miskin yang jadi korban di negeri ini. Mereka yang hanya memiliki uang pas-pasan untuk hidup semakin dicekik dengan pendidikan yang telah diobok-obok itu. Padahal bukankah setiap warga Negara di negeri ini berhak untuk mendapat pendidikan yang layak?.

Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah ini kecuali dengan mengambil tindakan-tindakan alternatif yang cukup radikal. Pendidikan negeri iniperlu dibersihkan sebersih-bersihnya untuk menjadi pendidikan yang seharusnya. Pendidikan yang membebaskan. Pendidikan revolusioner seperti konsep-konsep teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan pedagogy of the oppressed Paulo freire.

Oleh karena itu tulisan ini mencoba merelevansikan pendidikan dengan konsep teologi pembebasan. Hal ini begitu sangat dibutuhkan untuk mengangkat citra pendidikan dan mengembalikannya kepada fungsi yang seharusnya. Sudah seharusnya pendidikan negeri ini direvokusi dan rekonstruksi. 

Relevansi Pendidikan dan Teologi Pembebasan

Adakah hubungan antara pendidikan dan teologi pembebasan? Bagaimana relevansi dan korelasi antara keduanya?. Kedua pertanyaan itu adalah pengantar untuk memahami tulisan ini. Pendidikan yang hidup di lajur akademisi dengan lembaga-lembaga yang telah berserakan hampir di setiap sudut kota, memang tidak memiliki integritas dengan teologi pembebasan yang tumbuh dalam ranah-ranah religi-revolusioner . Namun ternyata ketika dihadapkan dengan potret-potret realitas negeri ini sekarang, semuanya memilikki relevansi bahkan korelasi yang cukup kuat serta bersimbiosis mutualisme satu sama lain.

Pendidikan saat ini, di Indonesia khususnya telah menjadi alat dan lading komersialisasi, politisasi dan kapitalisasi para pemilik modal . Biaya pendidikan yang kian melangit serta kurikulum-kurikulum yang senjang terhadap realitas kehidupan, menjadikan pendidikan hanya menjadi objek bisnis yang pada ruang lain menindas dan memarjinalkan mereka yang hidup di ambang garis kemiskinan. Tidak sedikit satuan dan lembaga pendidikan yang berlomba-lomba membangun gedung yang megah dengan predikat-predikatnya yang unggulan dan bermacam-macam, berkompetisi satu dan yang lainnya.

Hal ini tentunya berdampak pada biaya siswa yang tidak sedikit. Dengan alasan uang biaya bangunan dan semacamnya, pihak-pihak dari lembaga pendidikan biasanya menarik biaya yang tanpa tedeng aling-aling lagi kepada siswa.

Sementara itu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin kocar-kacir dengan keadaan semacam itu . Kebanyakan mereka harus lebih keras lagi membanting tulang dan memeras keringat, sejak pagi hari sampai malam hanya agar bias tetap menyekolahkan anaknya. Tidak sedikit juga dari mereka yang “mengelus dada” atas semua realitas yang mendera hidup mereka.

Belum lagi mereka yang hidup du gubuk-gubuk kumuh pinggir kota, gerbong-gerbong kereta yang using, serta mereka yang hidup di bawah kolong jembatan. Untuk makan tiap hari pun mereka tidak mampu untuk menjamin.

Di samping masalah eksternal lembaga dan satuan pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata masih banyak juga permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah. Mulai dari guru yang kurang kompeten dalam mengajar, buku-buku matapelajaran yang menyedot tariff tinggi, serta ketidakhumanisan dalam proses pembelajaran terhadap siswa. Hal itu semakin membuat potret pendidikan negeri ini jauh dari kata memanusiakan manusia. Justru tanpa sadar telah terjerumus dalam ungkapan yang disebut dengan “penindasan”. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh salah sati tokoh pendidikan kenamaan Brazil Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul pendidikan kaum tertindas.

Nilai-nilai sosial-religius pun cenderung menurun di lingkungan pendidikan saat ini. Banya kasus-kasus asusila yang diberitakan oleh berbagai media masa yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tawuran antar pelajar, pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual sampai narkoba telah marak di dunia pelajar saat ini. Hal demikian membuat fungsi lembaga dan satuan pendidikan dipertanyakan eksistensinya sebagai penjaga nilai.

Di sinilah pendidikan memerlukan yang namanya “pembebasan”. Pendidikan harus lepas dari segala permainan sistem yang menjadiikannya penindas. Baik itu bagi siswanya sendiri maupun mereka yang berharap anaknya bersekolah. Pendidikan tidak hanya untuk mereka yang berdasi dan memiliki segudang perhiasan. Tapi juga adalah suatu hak bagi mereka si miskin, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945. . Pendidikan pun harus di kembalikan kearah fungsionalisnya semula sebagai penjaga niali-nialai masyarakat dan kehidupan, khususnya sosial-religius.

Gerakan pembebasan dan transformasi pendidikan ini dahulu telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dalam strategi gerakan dakwah islam menuju transformasi sosial. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa gerakan dakwah pada masa nabi dipraktikan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya . Begitupun juga dengan aspek pendidikan. Sebagaimana Nabi telah menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya.

Demikianlah relevansi dan korelasi yang tercipta antara pendidikan dan teologipembebasan. Pendidikan memerlukan pembebasan untuk mewujudkan tujuan utamanya memanusiakan manusia . Begitupun juga teologi pembebasan yang dapat menjadikan pendidikan sebagai jasad ideologinya untuk menghapus segala bentuk penindasan.

Pendidikan dan Masyarakat

Pendidikan itu adalah salah satu unsur yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat . Suatu masyarakat tentu akan tertinggal jika tidak beraktualisasi dengan dinamika pendidikan. Baik itu peradaban atau pun kebudayaan tentu akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran, jika tidak diimbangi dengan pendidikannya. Realitas telah membuktikan bahwa semakin maju pendidikan maka semakin maju pula peradaban dan kebudayaan. Hal ini seperti yang telah diperlihatkan oleh Negara-negara maju di barat. Pendidikan mempunyai peran yang cukup sentral dalam masyarakat begitu juga dengan fungsi pendidikan itu sendiri.

 Seperti halnya unsur-unsur masyarakat yang lain, pendidikan pun memiliki fungsinya sendiri. Dalam makalahnya Imam Hanafi mengatakan bahwa pendidikan dalam pandangan klasik memiliki tiga fungsi utama. Pertama, pendidikan memiliki fungsi sebagai alat proses mempersiapkan generasi penerus di lingkungan masyarakat. Kedua, pendidikan berfungsi mentransferkan pengetahuan kpada generasi penerus yang telah dipersiapkan sesuai fungsinya masing-masing. Ketiga, pendidikan berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai yang melestarikan kebudayaan dan peradaban masyarakat.

Idealitasnya sudah jelas bahwa pendidikan bukanlah sebatas degelan bagi masyarakat. Pendidikan setidaknya memiliki tanggungjawab untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Pendidikan harus lepas dari segala terma-terma negatif yang sekarang ini banyak melekat. Mulai dari kapitalisasi sampai komersialisasi pendidikan itu sendiri. Pendidikan gaya bank sudah seharusnya dihapuskan sekarang apabila masyarakat ingin kembali meraih kemajuan . Pendidikan harus direkonstruksi dan dibersihkan dari segala noda-nodanya sebersih-bersihnya.

Jika realitas masyarakat dan pendidikan saat ini sedang dininabobokan dijauhkan dari nilai-nilai dan hakikat idealitasnya, menyedihkan. Sudah sepatutnya bagi kita yang tahu untuk menyampaikan dan menyadarkan masyarakat dengan “melek huruf kritis”. Istilah ini adalah istilah gerakan yang pernah dilakukan oleh tokoh pendidikan terkemuka Brazil Paulo Freire . Gerakan ini dilakukan Freire untuk memberantas buta huruf di Brazil khususnya yang diderita oleh para petani di sana. Hal ini dilakukan untuk membebaskan para petani dari segala macam bentuk eksploitasi para penindas.

Demikianlah pendidikan memang bertanggungjawab untuk mengentaskan ketertinggalan masyarakat dalam peradaban dan kebudayaannya. Tapi saat ini penddidikan pin harus dibersihkan dulu dari segala macam belenggu-belenggu kapitalisasi dan komersialisasinya. Dengan membebaskan pendidikan diharapkan dapat terlahir pendidikan yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari ketertinggalannya, serta dapat menjalankan dan memenuhi fungsi-funsgsinya seperti yang semestinya.  

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan

Segala macam teori dan cita-cita tanpa disertai dengan tindakan nyata hanyalah angan belaka. Banyak sederet program dan perencanaan-perencanaan dengan embel-embel slogan “menjadi lebih baik”, akan tetapi ketika dilemparkan pada reakitas hanya bersifat utopis belaka. Inilah yang perlu dipahami dan diketahui oleh generasi-generasi yang mengaku revolusioner. Tindakan-tindakan nyata yang perlu kita lakukan dalam masyarakat melalui kultur kebudayaan yang telah hidup di tengah-tengah kehidupan mereka.

Freire mengatakan bahwa diperlukan refleksi dan aksi yang kritis untuk menangani masalah di atas . Tindakan kultural adalah aksi yang digagas oleh Freire. Perkataan-perkataannya telah banyak dimuat dalam berbagai buku yang ditulisnya. Optimisme yang dibawanya selalu member semangat bagi kaum revolusioner. Gerakan melek huruf kritis adalah salah satu contoh tindakan refleksi kritis yang dicetuskannya.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Keberadaan kebudayaan di tengah-tengah memiliki nyawa yang sangat kuat. Ki hajar dewantara mengatakan bahwa budaya adalah hasil cipta dan karsa manusia. Sehingga wajarlah kalau budaya dan masyarakat memiliki hububgan yang sangat erat. Di samping itu Ahmad Janan dalam tilisannya mengatakan bahwa budaya adalah merupakan hasil budi dan daya manusia .

Islam pada hakikatnya menghendaki budaya ma’ruf. Budaya yang mengantarkan manusia pada tingkat ahsanul kholiqin. Islam memang tidak terlepas dari dua sumber yaitu Al-Quran dan Al-Hadits dalam menghadapi dan memecahkan persoalan realitas. Namun meskipun begitu islam tidak lantas mengalami kepicikandalam menghadapi dinamika. Islam justru menghormati bahkan menghendaki perubahan. Al-Quran dan Al-Hadits adalah marka agar segala perubahan dan maneuver-manuver kita selaras dengan dengan apa yang dikehendaki dan diridhoi Allah SWT.

 Tindakan kultural adalah alternatif jalan untuk revolusi pendidikan yang membebaskan. Alternatif ini mengantarkan pada tataran realitas masyarakat yang sebenarnya. Budaya telah memiliki kedudukan yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Jika budaya itu tidak dilestariakan dan diarahkan oleh kita maka jangan salahkan apabila ada budaya lain yang akan mengisi dan menggeser kebudayaan-kebudayaan semula.

Kita sadar sepenuhnya bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan pokok di dalam merumuskan bentuk atau pola suatu kebudayaan yang menjadi cirri suatu masyarakat. Pendidikanpun juga merencanakan pola pemindahan kebudayaan daru suatu generasi ke generasi selanjutnya dan sekaligus berupaya bagaimana cara pengembangan dan mengarahkannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu bertambahdan berubah.



“Penulis adalah Sekretaris Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013. 


Tulisan ini pernah disampaikan pada forum penyeleksian peserta LK 2 HMI Cabang Semarang 2013.

 



 
Continue Reading

AGAR MAU DAN BERANI MENULIS (ARTIKEL)

| 0 komentar

Judul buku: Menembus Koran Edisi II; Berani Menulis Artikel 

Penulis: Bramma Aji Putra 

Penerbit: easymedia 

Cetakan: Mei, 2012 

Tebal: x + 143 halaman 

Resonator: Nur Hasanatul Hafshaniyah* 

Menulis –apapun jenis tulisannya- memang sekilas tanpak sebagai aktivitas yang sederhana. Namun ternyata tidak demikian ketika seseorang berniat untuk meleburkan diri, masuk secara total dalam dunia ini. Jika kegiatan menulis tidak ingin dikatakan rumit –untuk menghindari stigma negatif, maka paling tidak, menulis bisa dikatakan unik karena meskipun menulis adalah bagian dari proses berbagi dan menguatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mereka yang melakoninya, namun ia adalah skill, bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluas apapun penguasaan seseorang terhadap teknik dan tata cara menulis yang baik, jika ia tidak pernah mencoba dan membiasakan diri untuk menulis, maka sampai hari kiamat tibapun ia tidak akan pernah bisa menulis.

Namun ada fakta lain terkait dengan pembiasaan menulis tersebut. Ternyata seseorang tidak akan pernah bisa membiasakan diri menulis jika ia tidak memiliki modal keberanian. Sebab proses kreatif kepenulisan bukanlah jalan lapang yang tanpa aral melintang. Kekhawatiran dan rasa takut sering kali menghantui mereka yang ingin menekuni dunia kepenulisan. Mulai dari soal menarik tidaknya tema yang diangkat dan sudut pandang yang diambil, dimuat tidaknya oleh sebuah media yang dituju, hingga pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti kesesuaian dengan teknik penulisan, pilihan diksi serta ketepatan tanda baca.

Itulah kurang lebih yang membuat keberanian sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang ingin terjun ke dunia tulis-menulis. Berani untuk dikritik, berani untuk ditolak sebuah media, dan yang terpenting adalah berani untuk setia pada proses menjadi seorang penulis. Inilah kurang lebih yang melatar belakangi Bramma Aji Putra mengambil tagline “Berani Menulis Artikel” dalam edisi kedua buku Menembus Koran ini.

Bila buku Menembus Koran edisi pertama lebih banyak berbicara tentang teknis penulisan dan trik bagaimana agar sebuah artikel dapat menembus media, pada edisi kedua ini penulis lebih provokasi para pembacanya agar berani menulis –apa saja, khususnya- artikel. Gerakan provokasi ini dia lakukan dalam dua bentuk. Pertama, dengan memaparkan keuntungan yang didapat oleh seseorang lewat aktivitas menulis. Dan yang kedua adalah dengan mengungkap cara sederhana dan mudah yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai macam kendala saat menulis.

Sebagai bentuk dari gerakan provokasi pertama, penulis banyak berbicara tentang menulis sebagai bentuk dari kepandaian seseorang, dapat mempertajam ingatan, dapat menjadi obat penyakit batin dan psikis, serta tak lupa ia menambahkan pembahasan bahwa dengan menulis seseorang juga akan memperoleh keuntungan secara finansial dan ketenaran nama. Sedangkan bentuk gerakan profokasinya yang kedua yaitu paparannya di halaman 16 tentang cara jutu mengabadikan mood menulis.

Selain itu, agar selama seseorang menjalani proses penulisan berjalan lancar, tidak macet dan tulisan yang dihasilkannyapun tanpak apik dan renyah dibaca, penulis menjawab dengan latihan menulis diary (hal. 24), rakus membaca (hal 27), memiliki seorang figure penulis yang diidolakan (hal. 53) dan banyak pembahasan lainnya yang tersebar di beberapa halaman.

Menariknya, selain dikemas dengan bahasa yang sangat personal dan ringan, buku ini ditulis berdasarkan pengalaman sang penulis langsung, selain tentu ditopang dengan berbagai literatur. Seperti pada pembahasan tentang menulis sebagai terapi jitu saat recovery. Pada pembahasan itu, selain penulis bercerita tentang Dahlan Iskan yang mampu melahirkan sebuah buku justru ketika menjalani operasi ganti hati, dia juga bercerita tentang pengalaman pribadinya melawan flu-batuk-demam dengan menulis yang membuatnya terbaring lemas selama dua hari.

 Inilah yang membuat apa yang ada dalam buku ini terasa begitu nyata dan dekat dengan kehidupan para pembacanya. Hubungan emosional yang dijalin secara tak langsung –dan bahkan mungkin tak disengaja oleh penulisnya- inilah yang dapat menggerakkan para pembaca buku ini untuk segera menyalakan laptop dan segera pula mulai mengetik di atas keyboard.

*jurnalis. Tinggal di ‘kota buku’, Yogyakarta. 

"Resensi buku oleh Nur Hasanatul Hafshaniyah kader HMI komfak tarbiyah UIN Suka Yogyakarta".
Continue Reading

MEMBANGUN ORGANIZATIONAL BUILDING SANTRI MELALUI SMALLGROUP

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam tertua di tanah air ini. hal ini dapat dilihat dari sejarah munculnya pesantren yang bersamaan dengan awal penyebaran dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya pulau Jawa. Dan sebagaimana diketahui bersama, proses penyebaran Islam ini dipelopori oleh Wali Songo. Meskipun tidak banyak literatur yang membahas tentang sejarah berdirinya pesantren di tanah air, namun dalam beberapa referensi, disebutkan bahwa lembaga pendidikan agama Islam model pesantren yang pertama kali berdiri didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi. Kesimpulan ini diambil berdasarkan fakta bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik inilah yang tersepuh di antara kesembilan wali penyebar agama Islam di tanah jawa. Beliau kembali ke hadlirat-Nya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 822, bertepatan dengan 8 April 1419.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kurikulum serta metode pengajaran yang khas. Ia sering kali menggunakan metode pengajaran serta pendidikan non pemerintah. Artinya, ia mencoba menyusun bahan ajar secara mandiri dan tidak berpedoman pada kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah saat itu. Karena kurikulum dan metode pengajarannya yang khas tersebut, maka tidak heran jika dalam dunia pendidikan nusantara, dikenal sebuah istilah ‘model pendidikan dan pengajaran ala pesantren’. Sebab pesantren memang memiliki kurikulum dan model pembelajaran khusus dalam mendidik para santri yang menimba ilmu di dalamnya.

Tidak hanya menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren dengan segala elemen yang ada di dalamnya, juga menempati posisi sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Sebab lewat model kepemimpinan kharismatik yang dimainkan oleh Kyai sebagai pimpinan pesantren, pesantren seringkali menjadi pusat bertanya serta tempat menemukan problem solving bagi setiap pertanyaan dan persoalan yang dialami oleh masyarakat, khususnya yang ada di sekitar pesantren.

Walaupun pesantren merupakan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama, tetapi pihak pesantren yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kyai, tidak hanya dipercaya untuk memecahkan persoalan-persoalan agama. Persoalan sosial, politik, ekonomi, bahkan kesehatan, segala penyelesaiannya dipasrahkan di tangan Kyai. Kyai menempati posisi teratas dalam strata sosial kemasyarakatan. Bahkan penghormatan masyarakat terhadap kyai telah melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat di daerah tersebut.

Pesantren yang tersebar di seluruh nusantara ini, terdiri dari berbagai macam ragam. Ia memiliki kategorisasi-kategorisasi yang di hasilkan melalui peneropongan terhadap aspek yang berbeda-beda. Oleh karena itu, maka jenis-jenis pesantren sangat tidak memungkinkan untuk diseragamkan atau dipukul rata.

Ditinjau dari segi kurikulumnya, pesantren terbagi dalam 3 kategori. Yaitu pesantren modern, takhassush, dan pesantren campuran. Dan bila pesantren ditinjau dari segi muatan kurikulumnya, maka kemudian ia terbagi dalam kategori pesantren sederhana, sedang, dan paling maju. Sedangkan dalam aspek inklusifitas serta eksklusifitasnya, Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan pesantren dalam 2 bagian. Pertama, pesantren Salaf (klasik) dan selanjutnya dalah pesantren Khalaf (modern.

Selanjutnya, Zamahksyari Dhofier memaparkan bahwa pesantren Salaf adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai pokok pengajaran di pesantren dan tanpa memasukkan pengetahuan umum ke dalamnya. Sedangkan pesantren Khalaf adalah sebaliknya. Yaitu pesantren yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Sederhananya, pesantren Khalaf merupakn pesantren yang di dalamnya terdapat sekolah umumnya.

Dalam realitas kehidupan masyarakat, harapan terhadap perubahan yang akan dibawa oleh santri sangatlah besar. Harapan serta tujuan para orang tua memondokkan putra-putrinya ke pesantren adalah agar lingkungan serta proses penempaan diri di pesantren dapat membawa perubahan pada diri sang anak, keluarga, serta kehidupan masyarakat secara luas. Perubahan yang diharapkan tersebut tidak hanya dalam aspek relijiusitas serta keilmuan. Akan tetapi mencakup segala aspek, termasuk aspek ekonomi, sosial, politik. Dan untuk memenuhi harapan besar ini, seorang santri membutuhkan kecakapan memanaj dan mengorganisir.

Ilmu organisasi berikut menejemennya sangat memungkinkan untuk dikuasai oleh para santri di pesantren Khalaf setelah mempertimbangkan inklusifitasnya pada ilmu pengetahuan umum –sebab ilmu organisasi dan manajemen merupakan bagian dari ilmu umum. Kedua bidang keilmuan tersebut dapat diajarkan secara teoritis melalui jenjang pendidikan formal, maupun secara praktis melalui pembentukan organisasi internal pesantren atau pengikutsertaan para santri dalam organisasi eksternal pesantren.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren Khalaf. Pesantren Khalaf yang titik tekannya hanyalah penguasaan santri terhadap ilmu agama, sangat tidak memungkinkan untuk memberikan perhatian secara khusus terhadap keterampilan mengorganisir dan memanaj santri. Ditambah lagi dengan rutinitas pesantren Khalaf yang cendrung dipadati dengan kegiatan pembelajaran dan penguasaan kitab klasik –baik itu melalui sistem sorogan,bendongan, wetonan ataupun sistem musyawarah.

Terkait dengan problematika pesantren Salaf ini, refofmasi secara masif sangatlah sulit untuk dilakukan. Lebih-lebih setelah melihat otoritas penuh yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan pesantren atau Kyai serta kecendrungannya yang tidak bisa dipukul rata. Oleh Karen itu, maka perlu dilakukan reformasi secara bertahap serta memaksimalkan peluang yang ada.

Secara praktis, keterampilan berorganisasi serta menejemennya dapat dilatih melalui maksimalisasi kerja kelompok. Baik itu dalam kegiatan edukatif maupun non edukatif, seperti halnya kelompok piket membersihkan lingkungan pesantren. Kemampuan dasar, seperti penanaman dan pengembangan jiwa kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, bekerjasama, dan timing dapat ditumbuhkembangkan melalui pengelompokan ini. Sebab dalam dinamika kelompok, memimpin, berkomunikasi, bekerjasama, dan pengaturan waktu demi tercapainya tujuan bersama merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Wallahu a’lam bis shawaab.

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

PEMUDA DAN PILAR KELIMA

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

13 Desember kemarin, saya mengikuti sebuah seminar sehari yang mengusung tema “Menguak Genealogi Kekerasan dan Posisi Empat Pilar Kebangsaan Di Tengah Arus Kebebasan”. Dalam seminar yang terselenggara berkat kerjasama Gerakan Alam Pkir (Gerak Api), Forum Pemuda Cinta Tanah Air dan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia itu, hadir 3 orang yang dipandang ahli, sebagai narasumber. Salah satunya adalah seorang mantan anggota MPR.

Seminar kali itu tidak jauh berbeda dengan seminar-seminar kebanyakan; acara dengan format acara formal, diisi dan dihadiri oleh ‘orang-orang formal’, dan bisa jadi pula dengan bahan pembahasan yang –sebatas- formal(itas). Saya bukan tipe orang yang memandang sinis acara-acara semacam itu. Akan tetapi, jika segala apa yang diwacanakan hanya berhenti pada tahap pembicaraan dan konsep saja, maka sangat pas jika dianalogikan sebagai pisau tumpul; ada namun tanpa makna dan fungsi.

Pada sesi tanya-jawab, ada pertanyaan yang menarik untuk ditinjau ulang. Pertanyan yang disampaikan oleh salah satu audiens kepada seluruh marasumber yang hadir itu sebenarnya merupakan pernyataan yang mempertanyakan ulang finalitas 4 pilar kebangsaan. Dalam kaca mata Si penenya, empat pilar kebangsaan yang berupa pancasila, UUD ’45, NKRI, serta Bhineka Tunggal Ika kurang lengkap dan perlu disempurnakan dengan pemuda. Dia menginginkan 4 pilar kebangsaan direvisi menjadi 5 pilar dan bagian yang kelima adalah pemuda, khususnya mahasiswa.

Alasan historis dikemukakan oleh Si penanya itu. Gerakan reformasi 1998 yang yang digawangi oleh hampir mahasiswa seluruh Indonesia, telah berhasil menumbangkan rezim orde baru, setelah puluhan tahun berkuasa di bumi nusantara ini. gerakan yang mengusung tuntutan reformasi dan dihapusnya KKN tahun1997-1998 ini menjadi suatu bukti nyata besarnya kekuatan kaum muda, khususnya mahasiswa, serta signifikansi posisi mereka dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun saat ini yang justru jadi persoalan adalah apakah pemuda hari ini dapat disamakan secara kualitas, kuantitas, integritas, komitmen kebangsaan dan idealisme dengan kaum muda kala itu? Proses ‘melihat ke dalam’ saya rasa penting untuk dilakukan sebelum memberikan jawaban secara tegas dan jelas atas pertanyaan di atas.

Menjadi pilar kebangsaan sama dengan melindungi dan menjaga bangsa dan Negara agar tidak ambruk dan bubar. Sama halnya dengan sebuah bangunan, pilar sama pentingnya dengan pondasi. Oleh karena itu, memperhatikan kekokohan pilar sama pentingnya dengan mengindahkan kekokohan pondasi. Dan pilar yang kokoh ditentukan oleh material yang bermutu serta didukung oleh kuantitas memadai.

Lewat analogi di atas, saya ingin menyampaikan bahwa untuk menjadi pilar kebangsaan, pemuda haruslah memilki integritas, loyalitas, idealisme, serta kualitas keilmuan yang mumpuni. Sebab jika tidak, maka posisi pemuda yang diinginkan menjadi pilar bagi bangsa ini akan kropos dan kemudian runtuh.

Namun tentu saja sangat tidak adil jika semua pemuda hari ini dipandang lebih rendah kualitasnya dengan kaum muda dahulu. Hari ini, tentu masih ada beberapa pemuda yang tetap berpijak pada idealismenya. Namun yang jadi persoalan adalah, seberapa baanyak yang demikian, lebih-lebih setelah memiliki kedudukan di jajaran kepemerintahan.

Ada ungkapan masyarakat umum di daerah saya –tanpaknya terdapat pula di daerah lain, tentu dengan pengungkapan bahasa yang berbeda- yang sekilas tanpak bernada sinis dan penuh pesimistis, namun sejatinya mengandung nilai kebijakan yang sangat. Ungkapan itu berbunyi, ‘jhet kecca’ mun tak katebenan dibhi’’ (memang sok kalau tidak mengalami sendiri; bahasa Madura, red.). Ungkapan itu cukup memberi saya cambukan agar tidak banyak komentar tentang seseorang yang ‘keluar dari rel’. Sebab, bila saya berada di posisinya, belum menjamin kalau saya dapat lebih baik dari mereka ketika mengalami hal yang sama.

Saya pribadi cukup memdapatkan pelajaran tentang idealisme pemuda atau spesifiknya idealisme mahasiswa dalam film dokumenter Gie.

Begitu narasi dalam salah satu adegan yang diangkat dari catatan Soe Hok Gie, seorang aktivis idealis pada masa orde lama itu. ‘semoga apa yang lo perjuangkan tidak luntur sama diplomasi2 dan lobi2 untuk mempertahan posisi lo d sana.’ Begitu komentar Gie pada Jak, temannya, sesama aktivis yang dahulu sama-sama teguh memegang idealismenya.

Tokoh yang saat ini duduk di kursi kepemerintahan dan banyak menggayang uang rakyat, dulunya juga seorang mahasiswa yang idealis. Namun pada kenyataannya saat ini, ketika mereka menduduki posisi orang-orang yang dulunya mereka kecam habis-habisan, mereka menjadi melempem. Suara mereka yang dulunya lantang meneriakkan keadilan dan kebenaran, saat ini berbisikpun kesulitan.

Fenomena yang tanpaknya telah menyejarah itu, mengajarkan kita, kaum muda untuk segera berbenah. Bila tidak, ‘pemuda hari ini sebagai pemimpin masa depan’ hanya akan bertahan pada taraf semboyan dan jargon. Pemuda menjadi pemimpin masa depan, itu hal yang pasti. Karena memang pada eranya nanti sosok-sosok yang saat ini tanpak belialah yang memiliki masa untuk menggantikan mereka, para tua yang telah udzur. Tapi menjadi pemimpin yang bagaimana? Akankah menjadi pemimpin yang tidak jauh berbeda dengan para pemimpin pendahulu mereka?

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

MASIH PANTAS-KAH UJIAN NASIONAL DIPERTAHANKAN?

| 0 komentar

Tulisan oleh: Moh Edi Komara

Dewasa ini, hampir seluruh media elektronik sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang carut-marut Ujian Nasional tahun 2013. Padahal baru selang beberapa hari, sudah ada beberapa temuan kecacatan dalam ujian nasional yang dilaksanakan secara serempak diseluruh provinsi negara Indonesia. Entah apa gerangan yang melatarbelakangi carut marut UN tahun ini. Mungkinkah ada beberapa kelompok yang merekonstruksi kecacatan ini atau ada unsur politik dibalik kecacacatan yang selalu digembor-gemborkan oleh media elektronik. Hal tersebutlah yang membuat penulis resah, selaku calon praktisi pendidikan yang akan berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan yang sudah tidak jelas arah tujuan dari pendidikan itu sendiri, sudah saatnya penulis memberikan beberapa kritik dan masukan kepada institusi yang melatarbelakangi pelaksanaan Ujian Nasional dan seluruh pihak yang ikut andil dalam pelaksanaanya dari masa ke masa guna keefektivan dan relevansi penyelenggaraan UN di masa mendatang serta perbaikan kualitas pendidikan di tanah surga ini (katanya).

 Adapun beberapa temuan kecacatan yang ditemukan oleh insan media dalam penyelenggaraan ujian nasional tahun ini adalah sebagai berikut :

1. Penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi, hal tersebut disebabkan karena lambatnya distribusi soal dari percetakan yang direkomendasikan oleh MENDIKBUD.

2. Masih adanya tradisi contek-menyontek antar siswa ketika pelaksanaan ujian nasional berlangsung dan terekam jelas oleh insan media.

3. Kualitas kertas lembar jawaban kurang baik dan hal tersebut menimbulkan rasa kekhawatiran dalam diri siswa, jawaban yang ditulisnya tidak dapat diidentifikasi oleh alat pemeriksa jawaban UN.

Dan masih banyak lagi seabreg kecacatan yang mengindikasikan bahwa penyelnggaraan UN tahun ini gagal. Hal senada pun diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh bahwa penyelenggaran UN tahun ini memang sangat berat dari tahun-tahun sebelumnya, selain ia harus turun langsung mengontrol pelaksanaan UN dia juga harus memverifikasi tentang keterlambatan penyetakan soal yang berdampak kepada penundaan pelaksanaan UN di beberapa provinsi.

Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang secara kritis dan obyektif, apakah masih perlu UN dipertahanakan dan tetap dilaksanakan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Karena banyak hal yang direspon tidak baik oleh kebijakan UN, diantaranya sebagai berikut kebijakan UN bertentangan kebijakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) indikasinya KTSP berupaya untuk memenuhi kebutuhan siswa kontekstual dengan memberikan materi pelajaran yang khas lokal seperti bahasa daerah, tari-tarian atau kesenian local. Kemudian hal yang lebih ditekankan dalam KTSP adalah memberikan kewenangan kepada guru di sekolah-sekolah untuk berkreasi menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, lingkungan disekelilingnya. Hal tersebut tentu berbeda 180 derajat dengan kebijakan UN yang mengambil fokus sentralisasi dan standar tunggal dalam ujian. Bagaimana bisa kualitas pendidikan yang orientasi pembelajarannya plural dapat diukur dan diuji dengan standar tunggal?. Jadi antara kebijakan pemerintah yang mengatakan bahwa penyusunan kurikulum yang diberikan otoritas penuh kepada setiap sekolah bertentangan langsung dengan adanya kebijakan UN yang selalu dipertahankan oleh pemerintah dari tahun ke tahun.

Selanjutnya tidak dapat dipungkiri, memang besar sekali alokasi dana untuk penyelanggaraan UN dari tahun ke tahun. Indikasinya untuk tahun 2011 saja jumlah dana UN sebesar 580.000.000.000 dengan jumlah peserta UN 10.409.562 siswa (suara pembaruan 8/1/10). Hal tersebut sungguh sangat mencengangkan, padahal pada realitanya arah tujuan penyelenggaraan UN itu sendiri hingga saat ini belum jelas tujuanya. Apakah untuk mengukur kualitas pendidikan atau pemborosan uang Negara saja?. Alangkah lebih baiknya apabila para birokrasi mengalokasikan dana yang sangat besar itu untuk pembangunan beberapa infrastruktur dan meningkatkan sarana serta prasarana di masing-masing sekolah khusunya bagi sekolah-sekolah yang berdomisili di daerah pinggiran sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancer dan lebih efektif.

Jadi, melihat dinamika yang terjadi sekitar pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, penulis menekankan kepada para aparatur Negara khususnya pihak penyelanggara UN untuk mengkaji ulang dan meng-evaluasi secara kritis kerelevansian pelaksanaan UN dalam dunia pendidikan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Kemudian indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan siswa tidak bisa hanya dengan beberapa mata pelajaran, melainkan seluruh proses pendidikan mulai dari awal proses pembelajaran berlangsung hingga akhir. Penilaian hendaknya tidak hanya diberlakukan pada pelajaran yang bersifat exacta saja, tetapi menilai aspek afektif siswa juga seperti sikap, perilaku, budi pekerti, keuletan,kepemimpinan dan lain sebagainya. Menilai secara keseluruhan aspek yang terkandung dalam diri siswa justru lebih hemat tanpa harus menghamburkan banyak biaya sebagaimana penyelangaraan UN, karena penilaian dilakukan sejak dini dan hanya cukup bermodalkan penilaian keseharian secara menyeluruh dan berkelanjutan. Harapanya dengan adanya tulisan sederhana ini kualitas pendidikan di tanah air tercinta akan semakin meningkat guna mempersiapkan generasi bangsa yang kompeten dan berperangai baik.

"

“Penulis adalah Bendahara Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013.

"
Continue Reading

MENGEMBANGKAN SAYAP KAMRAT

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer hasanatul Hafshaniyah 

 Nyaris di setiap daerah di Madura ada perkumpulan mingguan, 2 mingguan, dan bulanan yang di dalamnya berisikan acara tahlilan, shalawatan, dan penyampaian mau’idhah hasanah. Namun demikian, nama kegiatan itu beraneka ragam. Di satu tempat, kegiatan itu disebut kompolan. Di daerah yang lain, kegiatan tersebut dinamakan kamrat –dalam tulisan ini, akan menggunakan istilah kamrat karena istilah tersebut lebih memiliki ciri khas kultural. Anggota kegiatan inipun juga beragam. Ada yang ibu-ibu, bapak-bapak, kaum muda-mudi, dan bahkan para remaja. Dan sesuai dengan kultur masyarakat Madura, dalam kegiatan tersebut tidak terjadi pembauran antara kaum Adam dan kaum Hawa.

Kamrat ini sangat galak dilaksanakan, lebih-lebih ketika “musim” tertentu. Pada “musim” maulid Nabi, misalnya. Beberapa penggiat kamrat pernah menuturkan bahwa dalam seminggu dia bisa 3 sampai 4 kali menghadiri kamrat. Bahkan tak jarang, dalam sehari dia bisa 2 sampai 3 kali. Melihat intensitas pelaksanaan kamrat tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat setempat memiliki semangat yang menggelora dalam berkegiatan, khususnya dalam ber-kamrat. Akan tetapi semangat berkegiatan tersebut sebaiknya tidak hanya berhenti di kamrat saja.

Tanpa menghentikan kegiatan kamrat, perlu dilakukan gerakan yang lebih progresif lagi. Dalam artian, produktifitas kegiatan masyarakat jangan hanya dicukupkan pada kegiatan kamrat yang isinya seperti disebutkan di atas. Sebab kenyataannya kebutuhan masyarakat saat ini tidak saja berhenti pada kebutuhan untuk berkumpul, bershalawat, bertahlil, dan memperoleh pencerahan ilmu pengetahuan dan spiritual lewat mau’idhah hasanah yang ada dalam kamrat. Akan tetapi masyarakat juga perlu melakukan peningkatan kualitas hidup dengan cara meningkatkan pendapatan ekonomi, akses informasi, serta pendidikan.

Di satu sisi, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang secara umum telah disebutkan di atas. Sedangkan di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada berbagai persoalan hidup. Instabilnya harga komoditas pertanian masyarakat di pasaran, cuaca yang juga tidak stabil, kekeringan di beberapa wilayah dan banjir di wilayah yang lain, antusiasme masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang masih tidak seberapa, konflik sosial, dan lain sebagainya merupakan persoalan-persoalan masyarakat yang mendesak untuk segera dicari jawabannya.

Kamrat sebagai gerakan kemasyarakatan memiliki kekuatan yang membaja untuk melakukan gebrakan dalam menuntaskan kebutuhan dan persoalan-persoalan tersebut. Pasalnya kamrat dimotori oleh kekuatan kultural, sosial, keagamaan dan pendidikan. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, kekuatan psikologis juga turut menggerakkan kegiatan kamrat ini.

Secara kultural, pelaksanaan kegiatan kamrat sangat selaras dengan kultur masyarakat Madura yang lebih memprioritaskan segala hal yang bernuansa spiritual sekaligus juga memberikan nuansa spiritual dalam segala hal –meskipun terkadang masih terjadi “keawaman” di sana-sini. Selain itu, juga sangat sesuai dengan kultur sakralisasi dan penghormatan kepada kalangan darah biru yang tak jarang nyaris berlebihan. Sebab yang menyampaikan mau’idhah hasanah di sana adalah dari kalangan mereka.

Dari segi kegamaan, kamrat juga memiliki kesesuaian yang sangat dengan masyarakat Madura. Meskipun di kota-kota kabupaten Gereja berdiri tegak, namun sebagaimana yang jamak diketahui, mayoritas masyarakat Madura adalah pemeluk agama Islam. Dan sebagaimana telah maklum juga bahwa Islam yang diikuti oleh kebanyakan masyarakat Madura adalah Islam yang NU –meskipun sejatinya NU adalah organisasi masyarakat, bukan ideologi keagamaan. Agenda utama dalam kamrat, selain penyampaian mau’idhah hasanah, adalah tahlil dan shalawat. Dan keduanya merupakan amaliyah kaum nahdliyyin. Bahkan secara struktural, kamrat diakomodir dan dilaksanakan oleh beberapa Banom NU.

Apa yang ada dalam kamrat juga memiliki kesesuaian secara sosial dengan masyarakat Madura. Masyarakat Madura sangat suka menghadiri perkumpulan-perkumpulan. Lebih-lebih perkumpulan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur keagamaan yang dikemas lewat kesenian. Acara pawai, hadrah dan shalawatan, misalnya.

Masyarakat Madura yang hingga hari ini rata-rata masih memprioritaskan pendidikan agama, juga sangat sesuai dengan unsur pendidikan yang ada dalam kamrat. Penceramah yang menyampaikan mau’idhah hasanah dalam acara kamrat selalu menyajikan materi-materi seputar keagamaan ; sabar, tawakal, thaharah, mu’amalah, munakahat, dan seterusnya yang disajikan lengkap dengan landasan keagamaannya berupa al-Qur’an dan hadits ataupun nukilan ungkapan ulama’ klasik. Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan juga diisi dengan kajian kitab kuning.

Kesesuaian kamrat dengan unsur psikologis masyarakan Madura dapat dilihat dalam konten dan metode penyampaian dalam ceramah ini. Dalam menyampaikan mau’idhah hasanah di kamrat, Sang penceramah memilih konten dan cara penyampaian yang sesuai dengan tingkat kognisi dan perkembangan psikologis para anggota kamrat tersebut. Selain disampaikan dengan menggunakan bahasa lokal, juga dalam disertai humor di beberapa bagian dalam penyampaian materi yang dibawakannya.

Berbagai kekuatan dari banyak aspek yang terkandung dalam kamrat sebagaimana dipaparkan di atas, adalah potensi yang luar biasa. Jika potensi tersebut tidak digunakan untuk gerakan perubahan, akan menjadi potensi yang tersembunyi dan keberadaannya tak akan bermakna apa-apa.

Kamrat adalah kegiatan keagamaan-sosial yang berpotensi dan diharapkan untuk menciptakan keshalihan masyarakat Madura. Tidak hanya dalam aspek keshalihan individu, namun juga merambah pada keshalihan sosial dan kultural.

Yogyakarta, Senin, 04 April: 9.17 am. 

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

UNTUK APA SIBUK-SIBUK KULIAH?

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

Di kota besar bernama Yogyakarta ini, ternyata masih ada orang yang tidak kuliah. Tepatnya, orang yang lebih memilih untuk tidak kuliah –kata “lebih” di sini mohon untuk digaris bawahi. Karena dalam kondisi yang serupa, banyak orang yang masih memilih untuk kuliah. Padahal konon katanya, julukan Kota Pendidikan disematkan pada kota ini. Namun itulah realitanya. Tidak semua warganya menyadari pentingnya pendidikan –formal. Tetapi di sini yang ingin saya perbincangkan bukan itu. Tapi alasan mengapa dia, orang yang secara tidak sengaja berbagi kisah dengan saya, memilih untuk tidak mencicipi bangku kuliah sama sekali.

Pagi itu, langkah kaki membawa saya ke sebuah pasar yang tak jauh dari kos. Tak lama saya di pasar itu. Hanya untuk membeli ‘teman nasi’ untuk dikonsumsi sehari ini. Saat dalam perjalanan pulang, saya tertarik untuk membeli kue Kukis yang dibuat sekaligus dijual tak jauh dari pintu pasar itu. Yang membuat sekaligus menjualnya hanya satu orang, yaitu mas-mas yang menurut penuturannya ketika itu, ditak ingin kuliah sama sekali, seperti yang telah saya ungkap di atas.

Karena ternyata antre dan saya harus menunggu giliran, maka waktu menunggu itu saya jadikan kesempatan untuk memperhatikan kepiawaian mas itu menuang adonan Kukus ke loyang, membubuhinya mesis atau selay sebagai inovasi rasa, menuangkan kembali adonan itu untuk menutup aneka rasa tadi, dan menunggu adonan itu masak dan berubah wujud jadi kue, sambil terus melumasi kue yang sudah diangkatnya dari loyang dengan mentega.

Selesai mengamati, saya coba ajak dia ngobrol. Cukup panjang obrolan kami ketika itu. Mulai dari takaran seley yang biasa dibelinya, bahan kue, sejak kapan dia menjalani profesi ini, sedang menempuh pendidikan tinggi atau tidak, berapa jumlah saudaranya, dan yang paling memakan waktu adalah pembahasan tentang mengapa dia tidak ingin kuliah sama sekali.

Dia mengatakan, untuk apa kita kuliah jika hanya main-main, tidak serius belajar. Kuliah hanya menghabiskan duit orang tua saja. Dan itu sangat menyakitkan bagi orang tua. Lebih baik, langsung bekerja dan segera bahagiakan orang tua dengan cara meringankan beban finansial yang ada di pundak orang tua. Apalagi kalau orang tua kita bekerja di sektor yang berpenghasilan tidak memadai untuk menjalani kehidupan yang layak. Toh orang yang sudah menempuh bangku kuliahpun belum tentu dapat pekerjaan. Meskipun ia memperoleh pekerjaan, belum tentu pula dalam skala waktu yang singkat dan atau pekerjaan itu layak untuknya, sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuninya semasa duduk di bangku kuliah dulu.

Apa yang harus saya sanggahkan terhadap ungkapan-ungkapannya tadi? Sementara dia menyajikan fakta dengan begitu gamblangnya yang bahkan sayapun, sebagai bagian dari akademisi, juga melihat dan mengakuinya secara sadar. Lagipula, saya datang ke tempat itu dengan niatan tidak ingin berdebat. Hanya ingin membeli kue hasil bikinan mas itu tadi dan mengajaknya ngobrol untuk membunuh waktu. Sederhana sekali. Maka selama perbincangan kami tentang ini, saya lebih banyak mengeluarkan respon, “oooh.., mmm… begitu, iya, iya…”.

Dalam perjalanan pulang ke kos, pikiran saya sibuk bekerja. Pertanyaan utama dan pertama yang muncul adalah, benarkah kuliah benar-benar penting? Otak saya dengan segera menjawab, iya. Lalu muncullah pertanyaan kedua, mengapa? Urgensitasnya terletak di mana? Lama sekali saya mengobrak-abrik seluruh isi otak untuk menemukan jawaban yang tepat bagi pertanyaan ini.

Nah, ini dia. Akhirnya saya menemukan satu file di memori otak saya yang pas untuk menjawab pertanyaan ini. File itu berisi pernyataan seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, di kampung halaman saya sana. Dia menyatakan, pendidikan adalah investasi. Pendidikan dalam hal ini, oleh dia, dipersempit kepada pendidikan formal berikut segala jenjangnya. Secara tersirat dia mengungkapkan, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula investasi yang dia lakukan untuk mempersiapkan masa depannya.

Lalu bagaimana dengan realitas yang diungkap mas-mas di tas? Nah, itu dia. Ternyata, selangkah demi selangkah yang ditempuh selama seseorang menjalani proses investasi (baca: menempun jenjang pendidikan) ini juga perlu diperhatikan. Artinya, seseorang tidak sekedar berinvestasi, namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana ia menjalani proses investasinya dan dengan apa ia membangun investasi tersebut. Bahkan investasi yang dalam hal ini berupa pendidikan, tidak serta merta menjajikan kehidupan yang lebih baik, jika selama memprosesnya tidak dilakukan dengan sepenuh hati dan ‘bahan baku’ yang digunakan untuk membangunnya bukanlah hal-hal yang ‘dihalalkan’; skripsi pesanan, titel pesanan, dan sejenisnya.

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

TULISAN TANGAN DAN PLAGIASI

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah

Dalam 1 semester ini, penulis menjumpai 2 ‘temuan’ plagiarisme. Pertama, ketika penulis menggarap tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam (PSI). Ada dua buah buku yang sama persis, dengan penulis, judul, sub judul, tahun terbit, penerbit dan penempatan halaman yang berbeda. Melihat tahun terbit yang berbeda, sangat mudah diputuskan mana yang ‘memplagiat’ dan mana yang ‘diplagiat’.

Yang kian menambah keterkejutan adalah karena buku yang tahun terbitnya lebih akhir –dan otomatis buku ini pula yang ‘memplagiat’- itu ditulis oleh 2 orang yang sangat tidak pantas untuk berbuat hal yang demikian itu. Penulis yang pertama berpangkat MA., yang berarti dia telah menyelesaikan jenjang magisternya. Dan penulis yang satu lagi berpangkat Dr., yang berarti ia telah berhasil menempuh jenjang doktoral.

‘Temuan’ yang kedua adalah ketika penulis mencari referensi untuk tugas mata kuliah al-Qur’an. Karena tugas yang dibebankan kepada mahasiswa adalah tentang Muthlaq dan Muqayyad dalam Penetapan Hukum Islam, maka penulis juga berinisiatif untuk mencarinya di literatur ilmu Ushul Fiqh, selain juga dalam berbagai literatur ‘Ulum al-Qur’an. Sebab, selain menjadi wilayah pembahasan ‘Ulum al-Qur’an, Muthlaq dan Muqayyad juga termasuk dalam kawasan kajian ilmu Ushul Fiqh.

Dalam proses eksplorasi referensi dan penyeleksian referensi yang akan digunakan dari berbagai literatur yang telah berhasil dikumpulkan, lagi-lagi terdapat 2 buku yang sama persis, dengan penulis, halaman, peberbit dan tahun terbit yang berbeda. Buku yang satu merupakan teks book yang sengaja diterbitkan oleh sebuah departemen untuk buku pegangan perguruan tinggi yang dinaunginya. Sedangkan buku yang satunya lagi merupakan karya perseorangan.

‘Temuan’ yang tanpak berjumlah kecil di atas, tentu tidak dapat merepresentasikan apa yang sejatinya terjadi di dunia akademik –dua buah kasus dalam kurun waktu 6 bulan. Sebab, plagiarisme memang telah lama ramai dijumpai di dunia akademik. Oleh karena itu, sangat mungkin bila ternyata di luar sana tindakan plagiat lebih subur dari apa yang dijumpai oleh penulis dalam kurun waktu lebih-kurang 6 bulan itu.

Plagiarisme atau plagiat yang merupakan pengambilan karangan atau pendapat orang lain dan sebagainya, serta dijadikan –seolah-olah- menjadi karangan atau pendapat sendiri (lih. KBBI offline versi 1.1, 2010), merupakan indikator kebobrokan yang telah merambah dunia intelektual. Dunia intelektual yang merupakan tempat lahirnya ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan baru, didayakannya akal budi serta segala sesuatunya diproses secara begitu ilmiah dan penuh kecerdasan, ternyata juga melakukan tindakan yang sangat tidak ilmiah ; pencurian hasil olah pikir orang lain.

Terkait dengan plagiasi, rumor yang tanpak menyeruak ke permukaan lebih sering memposisikan mahasiswa dari pada para dosen sebagai pelakunya. Yang seringkali mendapatkan warning untuk menghindar jauh-jauh dari tindak plagiasi adalah mereka, para mahasiswa. Lebih-lebih ketika dalam penggarapan tugas akhir.

Dalam masa-masa pelaksanaan UAS ini, salah satu perguruan tinggi swasta di Madura bahkan sampai menugaskan mahasiswanya untuk membuat makalah dengan ditulis tangan. Alasannya tiada lain kecuali demi menghindari tindakan plagiarisme. Hal yang sama juga terjadi di perguruan tinggi, di mana penulis belajar.

Bila ditelaah lebih mendalam, persoalan plagiarisme di lingkungan akademik tidak akan tuntas dengan hanya mewajibkan mahasiswanya untuk menyelesaikan tugas dengan tulisan tangan. Sebab akar persoalannya bukan pada alat yang digunakan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas mereka. Akan tetapi lebih pada bagaimana mereka menyelesaikan tugas itu. Meskipun dalam penulisannya tugas-tugas tersebut ditulis tangan, akan tetapi dalam proses penyelesaiannya tidak menutup kemungkinan juga dihasilkan dari mengambil karya orang lain di sana sini.

Proses penyelesaian tugas mahasiswa, baik makalah sebagai tugas sehari-hari, ataupun skripsi sebagai tugas akhir, sangat terkait erat dengan kemampuan menulis yang mereka miliki. Sedangkan kemampuan menulis itu sendiri tidak lepas dari minat mereka terhadap dunia tersebut. Tentu minat itu tidak mungkin tumbuh secara instan. Akan tetapi sangat tergantung pada lingkungan yang ‘membesarkan’ mereka. Bila mahasiswa tumbuh tanpa memiliki rasa cinta terhadap dunia kepenulisan, hal ini menunjukkan lingkungan akademik di perguruan tinggi yang menempanya kurang atau bahkan tidak kondusif untuk itu.

Selain faktor internal yang ada pada masing-masing pribadi mahasiswa itu, juga terdapat faktor eksternal yang lahir dari para dosen mereka. Dalam hal ini, tradisi menulis di kalangan para dosen juga turut memberi andil. Dua ‘temuan’ di atas yang diprakarsai oleh beberapa orang dosen, tentu secara langsung berdampak pada iklim akademik di mana mereka berdedikasi. Sebab sebagaimana maklum, pendidikan bukanlah proses transformasi ilmu pengetahuan atau pengajaran semata. Akan tetapi juga melibatkan penempaan moral yang tentu saja hanya bisa ditempuh melalui keteladanan.

 "Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah".
Continue Reading

Esensialisme Pendidikan: Dalam Bingkai Konsep, Histori dan Implementasi

| 0 komentar

Tulisan oleh: Cecep Jaenudin 

Essensialisme adalah salah satu dari sekian banyak teori pendidikan yang ada sebagaimana yang kita ketahui. Selain essensialisme ada juga progresivisme, perenialisme, rekonstruktivisme dan lain-lain. Tentunya setiap teori memiliki prinsipnya masing-masing. Essensialisme yang dijadikan pokok bahasan dalam tulisan ini oleh penulis adalah teori pendidikan yang sempat mencuat pada tahun 1930 di Amerika. Teori ini adalah salah satu teori yang merespon teori progresivisme yang di gagas oleh golongan progresifis. Selain essensialisme ada juga perenialisme yang sama-sama teori respon dari progresivisme meskipun antara essensialisme dan perenialisme juga terdapat perbedaan prinsip.

Essensialisme cukup menarik untuk dibahas disini. Hal ini menurut hemat penulis terdapat beberapa poin yang sebenarnya sedang dibutuhkan oleh kalangan akademisi di Indonesia dalam kurun waktu sekarang ini. Di tengah gencarnya pendidikan ala proresifis dengan jargon membiarkan siswa mencari pendidikan dengan keinginannya sendiri.

Memang tidak salah dengan pendidikan pembebasan. Namun dalam tataran realitas kita temukan efek negatif dari prinsip progresifis itu. Gerak pendidikan cenderung melembek karena tidak ada dorongan yang kuat untuk memelajari disiplin ilmu. Pemilihan keilmuan pun karena sekehendaknya sendiri jadi jauh dari konsep integrasi ilmu. Karena cenderung memilih yang disukanya saja.

Esensialisme bagi penulis bukanlah kembali kepada pemikiran kolot pendidikan. Namun mengabarkan bahwa ada hal-hal dasariah yang harus dipahami oleh paea pesrta didik dalam pembelajarannya. Bukan bermaksud untuk mengekang. Karena dalam ujung kebuntuan progresifis ternyata banyak peserta didik yang tidak dapat memenuhi kebutuhabn tantangan di masyarakat.

Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Hal itu dapat terlihat dari minat belajar siswa, guru, kurikulum dan yang lainnya. Ini hanyalah sedikit dari beberapa potret permasalahan pendidikan saja.

Sebagian pelajar mungkin sedikit “malas” ketika mereka harus mengikuti pelajaran yang kurang mereka sukai seperti matematika contohnya. Sepintas mungkin benar ketika ada pernyataan yang mengatakan bahwa anak tidak boleh dipaksa dalam menerima pelajarannya. Akan tetapi, anak tersebut harus tetap belajar matematika itu meskipun dia kurang menyukainya karena pada kenyataanya dalam dunia pekerjaan dan kehidupan matematika adalah keterampilan yang harus dimiliki.

Begitupun juga dengan guru saat sekarang ini. Para guru telah terkikis perannya karena kebanyakan dari mereka saat ini hanya sebatas mengajar tanpa menanamkan pendidikan yang kuat dan jelas kepada para siswanya. Akhirnya banyak siswa yang sudah tidak menghormati gurunya lagi. Padahal guru adalah lokus pembelajaran utama ditengah menjamurnya sumber-sumber belajar lainnya dewasa ini. Namun guru tetaplah harus menjadi lokus yang dapat lebih dekat dan mengakomodasi pembelajaran peserta didiknya.

Dua dari permasalahan diatas hanyalah sebagian kecil saja dari masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Perlu ada perombakan besar untuk kembali memulihkan citra potret pendidikan di negeri nusantara ini untuk menciptakan generas-generasi unggul masa depan.

Dari sekian banyak masalah-masalah yang dialamai oleh dunia pendidikan, essensialisme dengan berbagai prinsipnya menawarkan beberapa macam solusi sebagai jalan keluarnya.

Diantara permasalahan pokok yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah kedisiplinan. Aspek ini sudah sedemikian merosotnya sehingga baik siswa, guru maupun stakeholder pendidikan yang lain bebas berulah dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungannya. Beberapa kasus penyimpangan pendidikan seperti tawuran, keterlambatan, mencontek dan tindakan-tindakan asusila lainnya tidak lain adalah sebab aspek kedisiplinan yang sudah kurang begitu diperhatikan.

Demikian juga soal tenaga pendidik yang ternyata banyak ditemukan tidak kompeten di bidangnya sehingga proses pembelajaran cenderung asal dan tidak berjalan dengan semestinya. Guru hanya seperti khotib jum’at yang hanya berbicara di atas mimbar sedangkan jamaahnya tidak menghiraukannya. Begitupun di sekolah juga para siswa terhadap guru-guru yang tidak kompeten di bidangnya.

Essensialisme dalam hal ini jelas berprinsip bahwa proses pembelajaran bukan;ah sesuatu yang mudah akan tetapi harus dibarengi dengan kedisiplinan tinggi (Bukan menindas) serta guru yang berfungsi sebagai lokus pengetahuan.

Sebuah Konsep
Esensialisme mendasari teori-teorinya pada pemikiran-pemikiran filsafat idealisme dan realisme. Konsep ini mencoba menjawab kerisauan masyarakat terhadap sekolah-sekolah yang “mulai rusak”, yang jauh dari kedisiplinan dan kajian hal-hal dasariah.

Dalam pandangan esensialisme, pendidikan tidak bisa mnurut sekehendaknya sendiri. Ada hal-hal dasar yang harus dipelajari dan dimiliki sebagai ketrampilan-keterampilan awal untuk menjadi modal dasar kedepannya. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan kedisiplinan yang memadai.

Arus utama pendidikan populer telah berhasil dibentuk esensialisme di beberapa negara. Hal tersebut adalah pemikiran konservatif yang lebih memperhatikan fungsi sekolah dalam mengalihkan fakta-fakta dan kebenaran yang telah teruji daripada memperhatikan inovasi dan embel-embel pendidikan.  

Sepintas dari Historisitas
  Esensialisme adalah reaksi kedua terhadap progresivisme setelah perenialisme pada 1930-an. Aliran ini memandang sistem yang diterapkan oleh progresivisme terlalu “lembek”. Hal itu karena progresivisme hanya mengandalkan keinginan sebagai faktor utama dalam pelaksanaan pembelajarannya.

Realitas pun membuktikan bahwa pada waktu itu banyak siswa yang lulus dari sekolah tidak memiliki standarkemampuan yang dibutuhkan di pasaran.

Di samping itu esensialisme juga tidak sama dengan perenialisme yang terlihat terlalu aristokratis dan bahkan menurut sebagian pengamat bernada cita-cita anti demokratis.

Sejak tahun 1930-an kalangan esensialis telah mencetuskan usaha-usaha besar memperingatkan masyarakat di amerika khususnya tentang 'pendidikan menyesuaikan-hidup'. Pendidikan berpusat pada anak dan kemerosotan belajar di amerika.

Peluncuran sputnick pada tahun 1957 menambah bobot propaganda kalangan esensialis, karena banyak bangsa amerika menafsirkan kesuksesan uni soviet ini sebagai indikasi rendahnya pendidikan bangsa amerika.

Sebagai akibatnya, akhir tahun 50-an dan awal 60-an berlangsung program revisi masif kurikulum. Seruan ulang untuk kembali ke materi-materi dasariah mencuat jua pada tahun 70-an.

Implementasi Teori Dalam Proses Pembelajaran

 1. Sekolah mengajarkan pengetahuan dasariah

Menurut esensialisme tugas utama sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasariah kepada peserta didiknya. Pengetahuan dasariah yang dimaksud diantaranya adalah membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tugas pokok menyelenggarakan pembelajaran keterampilan-keterampilan dasariah dan materi yang dengan penguasaan penuh akan menyiapkan pesrta didik untuk berfungsi sebagai anggota anggota masyarakat yang berperadaban.

Sekolah dasar menurut esensialisme memfokuskan pembelajaranya terhadap keterampilan membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan untuk sekolah-sekolah tingkat lanjutan kurikulum pembelajarannya mlai diarahkan kepada sejarah, matematika, sains, bahasa asing dan sastra.

Bagi kalangan esensialis apa yang diperlukan pserta didik adalah pemerolehanpengetahuan tentang dunia ini melalui penguasaan materi ajar yang esensial dan dasariah.

2. Kedisiplinan

Kedisiplinan adalah salah satu elemen yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran. Halini cukup bertolak balakang dengan prinsip progresivisme yang lebih menekankan faktor keinginan dalam proses pembelajarannya.

Bagi kalangan esensialis pegetahuan dasar harus tetap diajarkan kepada peserta didik meskipun adabeberapa diantara pengetahuan tersebut ada yang tidak mereka sukai. Karena bagaimanapun juga pengetahuan dasariah sangatlah penting untuk kesinambungan masa depan mereka dan hal ini tentu saja harus ditempuh dengan usaha keras dan kedisiplinan.

3. Guru

Menurut esensialisme Guru bukanlah orangyang mengikuti keinginan siswa atau seorang pemandu. Akan tetapi guru adalah orang yang mengetahui apa yang dibutuhkan peserta didiknya untuk diketahui, dan sudah sedemikian kenal dengan tatanan logis materi ajar dan cara penyampaiannya. Hal ini tidaklah lantas menjadikan guru orang yang serba tahu daripada siswanya. Akan tetapi lebih cenderung memahami keadaan siswanya. Terhadap kondisi dan kebutuhan pembelajarannya.

Disamping itu, guru sebagai wakil dari komunitas orang dewasa berada dalam posisi yang menuntut rasa hormat. Jika rasa hormat tidak datang, guru meiliki hak dan tanggungjawab untuk menata tatanan kedisiplinan yang akan membawa kearah suasana yang kondusif untuk proses belajar yang tertib. Hal ini sebenarnya dimaksudkan agar ada hubungan saling menghormati antara siswa dan guru. Tidak bermaksud bahwa guru manusia yang wajib dimuliakan atau bahkan didewakan.


“Pengarang adalah Sekretaris Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013.

 
Continue Reading
 
: