Home » » Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan (Sebuah Relevansi dengan Teologi Pembebasan)

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan (Sebuah Relevansi dengan Teologi Pembebasan)

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Cecep Jaenudin

 Pendidikan di negeri ini tidk pernah sepi dari berbagai isu yang mengitarinya. Kapitalisasi dan komersialisasi adalah dua diantara sekian banyak isu yang menjegal progresifitas pendidikan di negeri ini. Keduanya semakin menyuburkan kompetisi “liar” antar lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lainnya.

Potret pendidikan yang demikian itu semakin menghanyutkan pendidikan pada aspek ritual belakadengan biayanya yang kian melangit. Masih mending bagi mereka yang berduit. Ujung-ujungnya adalah orang miskin yang jadi korban di negeri ini. Mereka yang hanya memiliki uang pas-pasan untuk hidup semakin dicekik dengan pendidikan yang telah diobok-obok itu. Padahal bukankah setiap warga Negara di negeri ini berhak untuk mendapat pendidikan yang layak?.

Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah ini kecuali dengan mengambil tindakan-tindakan alternatif yang cukup radikal. Pendidikan negeri iniperlu dibersihkan sebersih-bersihnya untuk menjadi pendidikan yang seharusnya. Pendidikan yang membebaskan. Pendidikan revolusioner seperti konsep-konsep teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan pedagogy of the oppressed Paulo freire.

Oleh karena itu tulisan ini mencoba merelevansikan pendidikan dengan konsep teologi pembebasan. Hal ini begitu sangat dibutuhkan untuk mengangkat citra pendidikan dan mengembalikannya kepada fungsi yang seharusnya. Sudah seharusnya pendidikan negeri ini direvokusi dan rekonstruksi. 

Relevansi Pendidikan dan Teologi Pembebasan

Adakah hubungan antara pendidikan dan teologi pembebasan? Bagaimana relevansi dan korelasi antara keduanya?. Kedua pertanyaan itu adalah pengantar untuk memahami tulisan ini. Pendidikan yang hidup di lajur akademisi dengan lembaga-lembaga yang telah berserakan hampir di setiap sudut kota, memang tidak memiliki integritas dengan teologi pembebasan yang tumbuh dalam ranah-ranah religi-revolusioner . Namun ternyata ketika dihadapkan dengan potret-potret realitas negeri ini sekarang, semuanya memilikki relevansi bahkan korelasi yang cukup kuat serta bersimbiosis mutualisme satu sama lain.

Pendidikan saat ini, di Indonesia khususnya telah menjadi alat dan lading komersialisasi, politisasi dan kapitalisasi para pemilik modal . Biaya pendidikan yang kian melangit serta kurikulum-kurikulum yang senjang terhadap realitas kehidupan, menjadikan pendidikan hanya menjadi objek bisnis yang pada ruang lain menindas dan memarjinalkan mereka yang hidup di ambang garis kemiskinan. Tidak sedikit satuan dan lembaga pendidikan yang berlomba-lomba membangun gedung yang megah dengan predikat-predikatnya yang unggulan dan bermacam-macam, berkompetisi satu dan yang lainnya.

Hal ini tentunya berdampak pada biaya siswa yang tidak sedikit. Dengan alasan uang biaya bangunan dan semacamnya, pihak-pihak dari lembaga pendidikan biasanya menarik biaya yang tanpa tedeng aling-aling lagi kepada siswa.

Sementara itu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin kocar-kacir dengan keadaan semacam itu . Kebanyakan mereka harus lebih keras lagi membanting tulang dan memeras keringat, sejak pagi hari sampai malam hanya agar bias tetap menyekolahkan anaknya. Tidak sedikit juga dari mereka yang “mengelus dada” atas semua realitas yang mendera hidup mereka.

Belum lagi mereka yang hidup du gubuk-gubuk kumuh pinggir kota, gerbong-gerbong kereta yang using, serta mereka yang hidup di bawah kolong jembatan. Untuk makan tiap hari pun mereka tidak mampu untuk menjamin.

Di samping masalah eksternal lembaga dan satuan pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata masih banyak juga permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah. Mulai dari guru yang kurang kompeten dalam mengajar, buku-buku matapelajaran yang menyedot tariff tinggi, serta ketidakhumanisan dalam proses pembelajaran terhadap siswa. Hal itu semakin membuat potret pendidikan negeri ini jauh dari kata memanusiakan manusia. Justru tanpa sadar telah terjerumus dalam ungkapan yang disebut dengan “penindasan”. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh salah sati tokoh pendidikan kenamaan Brazil Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul pendidikan kaum tertindas.

Nilai-nilai sosial-religius pun cenderung menurun di lingkungan pendidikan saat ini. Banya kasus-kasus asusila yang diberitakan oleh berbagai media masa yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tawuran antar pelajar, pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual sampai narkoba telah marak di dunia pelajar saat ini. Hal demikian membuat fungsi lembaga dan satuan pendidikan dipertanyakan eksistensinya sebagai penjaga nilai.

Di sinilah pendidikan memerlukan yang namanya “pembebasan”. Pendidikan harus lepas dari segala permainan sistem yang menjadiikannya penindas. Baik itu bagi siswanya sendiri maupun mereka yang berharap anaknya bersekolah. Pendidikan tidak hanya untuk mereka yang berdasi dan memiliki segudang perhiasan. Tapi juga adalah suatu hak bagi mereka si miskin, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945. . Pendidikan pun harus di kembalikan kearah fungsionalisnya semula sebagai penjaga niali-nialai masyarakat dan kehidupan, khususnya sosial-religius.

Gerakan pembebasan dan transformasi pendidikan ini dahulu telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dalam strategi gerakan dakwah islam menuju transformasi sosial. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa gerakan dakwah pada masa nabi dipraktikan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya . Begitupun juga dengan aspek pendidikan. Sebagaimana Nabi telah menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya.

Demikianlah relevansi dan korelasi yang tercipta antara pendidikan dan teologipembebasan. Pendidikan memerlukan pembebasan untuk mewujudkan tujuan utamanya memanusiakan manusia . Begitupun juga teologi pembebasan yang dapat menjadikan pendidikan sebagai jasad ideologinya untuk menghapus segala bentuk penindasan.

Pendidikan dan Masyarakat

Pendidikan itu adalah salah satu unsur yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat . Suatu masyarakat tentu akan tertinggal jika tidak beraktualisasi dengan dinamika pendidikan. Baik itu peradaban atau pun kebudayaan tentu akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran, jika tidak diimbangi dengan pendidikannya. Realitas telah membuktikan bahwa semakin maju pendidikan maka semakin maju pula peradaban dan kebudayaan. Hal ini seperti yang telah diperlihatkan oleh Negara-negara maju di barat. Pendidikan mempunyai peran yang cukup sentral dalam masyarakat begitu juga dengan fungsi pendidikan itu sendiri.

 Seperti halnya unsur-unsur masyarakat yang lain, pendidikan pun memiliki fungsinya sendiri. Dalam makalahnya Imam Hanafi mengatakan bahwa pendidikan dalam pandangan klasik memiliki tiga fungsi utama. Pertama, pendidikan memiliki fungsi sebagai alat proses mempersiapkan generasi penerus di lingkungan masyarakat. Kedua, pendidikan berfungsi mentransferkan pengetahuan kpada generasi penerus yang telah dipersiapkan sesuai fungsinya masing-masing. Ketiga, pendidikan berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai yang melestarikan kebudayaan dan peradaban masyarakat.

Idealitasnya sudah jelas bahwa pendidikan bukanlah sebatas degelan bagi masyarakat. Pendidikan setidaknya memiliki tanggungjawab untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Pendidikan harus lepas dari segala terma-terma negatif yang sekarang ini banyak melekat. Mulai dari kapitalisasi sampai komersialisasi pendidikan itu sendiri. Pendidikan gaya bank sudah seharusnya dihapuskan sekarang apabila masyarakat ingin kembali meraih kemajuan . Pendidikan harus direkonstruksi dan dibersihkan dari segala noda-nodanya sebersih-bersihnya.

Jika realitas masyarakat dan pendidikan saat ini sedang dininabobokan dijauhkan dari nilai-nilai dan hakikat idealitasnya, menyedihkan. Sudah sepatutnya bagi kita yang tahu untuk menyampaikan dan menyadarkan masyarakat dengan “melek huruf kritis”. Istilah ini adalah istilah gerakan yang pernah dilakukan oleh tokoh pendidikan terkemuka Brazil Paulo Freire . Gerakan ini dilakukan Freire untuk memberantas buta huruf di Brazil khususnya yang diderita oleh para petani di sana. Hal ini dilakukan untuk membebaskan para petani dari segala macam bentuk eksploitasi para penindas.

Demikianlah pendidikan memang bertanggungjawab untuk mengentaskan ketertinggalan masyarakat dalam peradaban dan kebudayaannya. Tapi saat ini penddidikan pin harus dibersihkan dulu dari segala macam belenggu-belenggu kapitalisasi dan komersialisasinya. Dengan membebaskan pendidikan diharapkan dapat terlahir pendidikan yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari ketertinggalannya, serta dapat menjalankan dan memenuhi fungsi-funsgsinya seperti yang semestinya.  

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan

Segala macam teori dan cita-cita tanpa disertai dengan tindakan nyata hanyalah angan belaka. Banyak sederet program dan perencanaan-perencanaan dengan embel-embel slogan “menjadi lebih baik”, akan tetapi ketika dilemparkan pada reakitas hanya bersifat utopis belaka. Inilah yang perlu dipahami dan diketahui oleh generasi-generasi yang mengaku revolusioner. Tindakan-tindakan nyata yang perlu kita lakukan dalam masyarakat melalui kultur kebudayaan yang telah hidup di tengah-tengah kehidupan mereka.

Freire mengatakan bahwa diperlukan refleksi dan aksi yang kritis untuk menangani masalah di atas . Tindakan kultural adalah aksi yang digagas oleh Freire. Perkataan-perkataannya telah banyak dimuat dalam berbagai buku yang ditulisnya. Optimisme yang dibawanya selalu member semangat bagi kaum revolusioner. Gerakan melek huruf kritis adalah salah satu contoh tindakan refleksi kritis yang dicetuskannya.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Keberadaan kebudayaan di tengah-tengah memiliki nyawa yang sangat kuat. Ki hajar dewantara mengatakan bahwa budaya adalah hasil cipta dan karsa manusia. Sehingga wajarlah kalau budaya dan masyarakat memiliki hububgan yang sangat erat. Di samping itu Ahmad Janan dalam tilisannya mengatakan bahwa budaya adalah merupakan hasil budi dan daya manusia .

Islam pada hakikatnya menghendaki budaya ma’ruf. Budaya yang mengantarkan manusia pada tingkat ahsanul kholiqin. Islam memang tidak terlepas dari dua sumber yaitu Al-Quran dan Al-Hadits dalam menghadapi dan memecahkan persoalan realitas. Namun meskipun begitu islam tidak lantas mengalami kepicikandalam menghadapi dinamika. Islam justru menghormati bahkan menghendaki perubahan. Al-Quran dan Al-Hadits adalah marka agar segala perubahan dan maneuver-manuver kita selaras dengan dengan apa yang dikehendaki dan diridhoi Allah SWT.

 Tindakan kultural adalah alternatif jalan untuk revolusi pendidikan yang membebaskan. Alternatif ini mengantarkan pada tataran realitas masyarakat yang sebenarnya. Budaya telah memiliki kedudukan yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Jika budaya itu tidak dilestariakan dan diarahkan oleh kita maka jangan salahkan apabila ada budaya lain yang akan mengisi dan menggeser kebudayaan-kebudayaan semula.

Kita sadar sepenuhnya bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan pokok di dalam merumuskan bentuk atau pola suatu kebudayaan yang menjadi cirri suatu masyarakat. Pendidikanpun juga merencanakan pola pemindahan kebudayaan daru suatu generasi ke generasi selanjutnya dan sekaligus berupaya bagaimana cara pengembangan dan mengarahkannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu bertambahdan berubah.



“Penulis adalah Sekretaris Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013. 


Tulisan ini pernah disampaikan pada forum penyeleksian peserta LK 2 HMI Cabang Semarang 2013.

 



 
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: