Home » » AKHLAK ITU BASI, KORUPSI ITU BIASA

AKHLAK ITU BASI, KORUPSI ITU BIASA

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah

Pada pertemuan kedua mata kuliah Akhlak-Tasawuf kemaren, dosen saya mengeluarkan statemen menarik terkait dengan korelasi antara akhlak dan prilaku. Beliau menyatakan bahwa akhlak laksana cahaya dan prilaku adalah pancarannya. Pancaran tak dapat disembunyikan. Ia juga seperti api yang rambahan panasnya tak dapat dielakkan lagi. Yang membuat saya tergelitik untuk menuangkannya di sini adalah analogi yang pertama; perumpamaan akhlak dengan cahaya. Mengapa? Ada sederet alasan mengenai hal ini.

Pertama, pancaran cahaya sesuai dengan warna cahaya. Dan warna cahaya itu sendiri ditentukan oleh apa yang melingkupinya. Ambil sebuah contoh sederhana. Misalnya, pendar atau pancaran cahaya sebuah lampu Neon 5 watt. Pancaran dari cahaya yang berupa lampu Neon 5 watt itu memancarkan sinar dengan warna yang sesuai dengan cahaya itu sendiri. Jika Neon 5 watt yang digunakan itu berwarna kuning, maka kuning jugalah pancarannya. Jika yang digunakan adalah warna hijau, maka hijau pula pancarannya. Dan begitulah seterusnya. Namun perlu diingat bahwa dalam hal ini yang memiliki warna itu sejatinya bukan cahaya. Namun bohlam lampu yang menjadi wadah dan melingkupi sumber cahaya tersebut. Jadi dalam hal ini, dapat ditarik sebuah benang merah demikian; corak atau warna pancaran cahaya ditentukan oleh sumber cahaya. Dan sumber cahaya ditentukan oleh apa yang melingkupinya.

Bila kita kembali pada ranah akhlak dan prilaku, maka dapat diketahui bahwa aneka ragam prilaku ditentukan oleh baik-buruknya akhlak. Dan baik-buruknya akhlak diwarnai oleh lingkungan –baik itu lingkungan keluarga, pendidikan, maupun masyarakat secara umum- orang yang bersangkutan. Dalam pembahasan inilah kita dapat mengetahui keotomatisan akhlak. Ia tak dapat dilepaskan dari watak dasar orang yang bersangkutan serta dari lingkungan yang melingkupinya.

Kedua, pancaran cahaya memiliki sifat alamiyah, yaitu tidak dapat disembunyikan, ditutup-tutupi. Melalui celah yang ada, ia akan muncul dengan sendirinya. Sifatnya yang immateri, membuat ia dapat menemukan celah sekecil apapun, sebagai jalan lebebarkan pendarnya.

Ketika analogi di atas ditarik ke dalam ranah akhlak, maka dapat dipahami bahwa prilaku yang merupakan pancaran dari akhlak adalah sesuatu yang tidak dapat dipola. Ia akan secara alamiah muncul ke permukaan apa adanya. Ketika apa yang kita munculkan bukanlah spontanitas kita sendiri, maka ketika itulah kita sedang melakukan suatu kepura-puraan. Kita masih ‘menyewa kostum’ pihak lain untuk kita pakai ke permukaan.

Terakhir, kita tahu bahwa sesehat apapun penglihatan seseorang, ia tidak dapat melihat apapun dalah kondisi gelap. Untuk mengindra sesuatu, mata kita membutuhkan cahaya yang cukup –cahaya yang ‘sekedar ada’pun bila tidak cukup, tidak dapat membuat mata kita bisa mengindra sesuatu. Bahkan berkenaan dengan ini, ada guyonan dari seorang teman. Dia mengungkapkan, “sebenarnya yang melihat itu mata atau cahaya?” Namun tentu saja kita semua tahu bagaimana hubungan cahaya dengan mata serta objek yang akan diindra sehingga kita tidak perlu mendiskusikannya.

Terkait dengan akhlak yang di atas telah dijelaskan bahwa ia dianalogikan sebagai sebuah cahaya, maka ia memiliki sifat sebagai pemandu, guide, penunjuk jalan bagi siapapun dan dalam kondisi apapun. Sebab, Tuhan memang men-setting manusia sebagai pelancong di muka bumi ini. oleh karena itu, maka kita selamanya tidak akan pernah menjadi pendudut (baca: menetap) di muka bumi ini. dan sebagai wisatawan asing, tentu saja adanya seorang guide merupakan suatu kebutuhan.

Mata Rantai Akhlak dan Korupsi 
Pembahasan soal akhlak, sejauh ini masih dipandang terlampau melangit dan sangat normatif. Lebih-lebih di tengah jajahan paham sekularisme ini. Pembahasan-pembahasan yang berkenaan dengan akhlak tanpak hanya hangat di kalangan agamawan saja. Di kalangan non agamawan, ia merupakan tema yang basi dan terlampau teoritik dan jauh dari praktis untuk diperbincangkan.

Asumsi-asumsi seperti di atas menurut hemat saya, penting untuk segera diluruskan. Memang saya memaklumi bahwa barangkali pihak yang enggan membahas panjang lebar soal akhlak disebabkan karena pemabhasan soal akhalak yang sellama ini dilakukan, pada kenyataannya tidak membuahkan perbaikan apapun. Realitas justru menunjukkan bahwa kian hari kerusakan di bidang akhlak kian memprihatinkan.

Akan tetapi, justru karena hal tersebut di atas maka pembahasan soal akhlak tidak boleh dihentikan. Bahkan intensitasnya perlu lebih ditingkatkan. Dan gerak aplikatifnya penting untuk maksimalkan. Pandangan terbalik seperti di atas penting untuk dilakukan karena jika tidak, maka skeptisitas akan urgensi akhlak akan kian merambah. Dan pada akhirnya, kerusakan akhlakpun tidak akan jadi soal lagi. Salah satu bukti nyatanya adalah kian maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia ini.

Kian meningkatnya jumlah tindak pidana korupsi dari hari ke hari merupakan bukti nyata bahwa aspek akhlak tidak lagi menjadi hal yang penting untuk dijaga. Korupsi yang merambah di segala tingkat dan di semua ranah seakan akan menjadikan ia sebagai sesuatu yang lumrah, wajar, dan bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Korupsi bukanlah sesuatu yang baru lagi di telinga kita. Pemandanag dan kabar yang terkait dengannya bukan lagi sesuatu yang hangat untuk diperbincangkan. Ketika seseorang dikabarkan sedang terjerat tindak pidana korupsi, yang lain tidak terkejut dan tidak heran sama sekali. Lagi-lagi karena itu merupakan hal yang biasa dan bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja.

Pandangan-pandanga seperti di ataslah yang membuat para penjahat akhlak, lebih-lebih pelanggaran akhlak berupa korupsi, merasa nyaman-nyaman saja di tempatnya. Keengganan kita untuk membahas, mengusut, dan menindak para pelanggar akhlak ternyata telah berkontribusi besar dalam memperparah kebobrokan akhlak di negeri ini. Jika demikian, masihkah kita beranggapan bahwa pembahasan soal akhlak merupakan tema-tema yang basi?!

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: