Home » » Perpecahan HMI

Perpecahan HMI

Sabtu, 24 November 2012 | 0 komentar

Sejarah Perpecahan HMI
 
Fragmentasi di dalam gerakan mahasiswa bukanlah hal yang mengejutkan karena gerakan mahasiswa memang bukan gerakan yang kohesif dan solid. Gerakan mahasiswa tidak berdiri di atas pondasi yang homogen sehingga rentan dengan kemungkinan terfragmentasi di antara mereka. Perbedaan cara pandang dan motivasi dapat membuat gerakan mahasiswa terseret arus konflik yang pada akhirnya akan menurunkan kekuatan mereka dalam menghadapi negara. Padatahun 1970-an terdapat perbedaan pendapat di antara kalangan HMI dalam menempatkan Islam dan negara. Sebagian kalangan menempatkan Islam dikedudukan yang paling tinggi, sehingga undang-undang negara harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Pihak lain menganggap Islam adalah bagian dari negara karena negara lebih superior.
 
a. Penyebab perpecahan

Pemerintahan Soeharto pada era Orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosialdan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak, dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan UU Ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. HMI pun terkena dampaknya. Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986 menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (majelis penyelamat organisasi) HMI menolak menurut mereka Islam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan dengan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status-quo. HMI akhirnya pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI yang ”resmi” diakui negara (tahun 1999 HMI-DIPO mengubah asas Pancasila menjadi Islam) dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.
 
b. Perbedaan HMI-MPO dan HMI-DIPO

HMI-DIPO menilai MPO adalah pemberontak yang menyempal dari HMI, sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan MPO menilai DIPO adalah sekelompok pengkhianat karena tunduk terhadap status quo. DIPO dinilai jauh dari gerakan mahasiswa yang oposan dan menentang status quo.
 
HMI DIPO dinilai lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yg tiran. Pilihan HMI-MPO untuk “berhadap-hadapan” dengan rezim Orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan HMI-MPO yang cukup khas.Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan HMI-MPO:Pertama, gerakan moral-politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan berbasis moralitas Islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya. Ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang dikawasan Yogyakarta. Sedangkan HMI DIPO membagi ‘spesialisasi’ gerakan tiapkadernya menjadi 3, yaitu politisi, intelektual dan dakwah.

Pada awal keberadaannya, HMI-MPO tidak hanya sekedar menjadikan Islam sebagai azasnya, tapi juga implementasi nilai-nilai ke-Islam-an yang sangat kental pada kader-kader HMI pada awalnya. Sehingga gerakan HMI-MPO cenderung fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadi sebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya. Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revolusi sistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalam pemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiada pernah terealisasi.

Di dalam pelatihan kader, HMI-MPO lebih menonjolkan aspek keislaman dan agak mengabaikan aspek politik/kebangsaan, sedangkan HMI-DIPO banyak membahas unsur kebangsaan, Pancasila dan UUD Negara. HMI-MPO tidak banyak melakukan politik praktis dan lebih memilih melakukan kajian-kajian karena akses politik kader sangat kecil (terbatas). Status ‘ilegal’ membuat MPO banyak ditekan oleh pemerintah Orba. Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. PerbedaanAD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan‘2 HMI’. Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderan HMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal) sedangkan Khittah Perjuangan menekankan pada wacana penafsiran Islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden). Namun, padaKongres XXVI HMI di Hotel Novotel, Palembang (29 Juli 2008), kedua HMI sepakat untuk meruntuhkan ego pribadi dan bersatu dalam rangka menegakkan syiar Islam bersama-sama.

Islah akan ditindaklanjuti dengan merumuskan anggaran dasar (menyatukan asas dan nilai dasar perjuangan) dan menyatukan kepengurusan PBHMI serta menyatukan perbedaan-perbedaan kultural kader-kader HMI di kedua belah.

 HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo (ketua umum PBHMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen. Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-komunis & anti kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang dindikasikan berafiliasi dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami kekalahan. Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat akan membubarkan HMI karena menilai HMI melakukan tindakan anti-revolusi, reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir Barat.
 
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: