Home » » UNTUK APA SIBUK-SIBUK KULIAH?

UNTUK APA SIBUK-SIBUK KULIAH?

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

Di kota besar bernama Yogyakarta ini, ternyata masih ada orang yang tidak kuliah. Tepatnya, orang yang lebih memilih untuk tidak kuliah –kata “lebih” di sini mohon untuk digaris bawahi. Karena dalam kondisi yang serupa, banyak orang yang masih memilih untuk kuliah. Padahal konon katanya, julukan Kota Pendidikan disematkan pada kota ini. Namun itulah realitanya. Tidak semua warganya menyadari pentingnya pendidikan –formal. Tetapi di sini yang ingin saya perbincangkan bukan itu. Tapi alasan mengapa dia, orang yang secara tidak sengaja berbagi kisah dengan saya, memilih untuk tidak mencicipi bangku kuliah sama sekali.

Pagi itu, langkah kaki membawa saya ke sebuah pasar yang tak jauh dari kos. Tak lama saya di pasar itu. Hanya untuk membeli ‘teman nasi’ untuk dikonsumsi sehari ini. Saat dalam perjalanan pulang, saya tertarik untuk membeli kue Kukis yang dibuat sekaligus dijual tak jauh dari pintu pasar itu. Yang membuat sekaligus menjualnya hanya satu orang, yaitu mas-mas yang menurut penuturannya ketika itu, ditak ingin kuliah sama sekali, seperti yang telah saya ungkap di atas.

Karena ternyata antre dan saya harus menunggu giliran, maka waktu menunggu itu saya jadikan kesempatan untuk memperhatikan kepiawaian mas itu menuang adonan Kukus ke loyang, membubuhinya mesis atau selay sebagai inovasi rasa, menuangkan kembali adonan itu untuk menutup aneka rasa tadi, dan menunggu adonan itu masak dan berubah wujud jadi kue, sambil terus melumasi kue yang sudah diangkatnya dari loyang dengan mentega.

Selesai mengamati, saya coba ajak dia ngobrol. Cukup panjang obrolan kami ketika itu. Mulai dari takaran seley yang biasa dibelinya, bahan kue, sejak kapan dia menjalani profesi ini, sedang menempuh pendidikan tinggi atau tidak, berapa jumlah saudaranya, dan yang paling memakan waktu adalah pembahasan tentang mengapa dia tidak ingin kuliah sama sekali.

Dia mengatakan, untuk apa kita kuliah jika hanya main-main, tidak serius belajar. Kuliah hanya menghabiskan duit orang tua saja. Dan itu sangat menyakitkan bagi orang tua. Lebih baik, langsung bekerja dan segera bahagiakan orang tua dengan cara meringankan beban finansial yang ada di pundak orang tua. Apalagi kalau orang tua kita bekerja di sektor yang berpenghasilan tidak memadai untuk menjalani kehidupan yang layak. Toh orang yang sudah menempuh bangku kuliahpun belum tentu dapat pekerjaan. Meskipun ia memperoleh pekerjaan, belum tentu pula dalam skala waktu yang singkat dan atau pekerjaan itu layak untuknya, sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuninya semasa duduk di bangku kuliah dulu.

Apa yang harus saya sanggahkan terhadap ungkapan-ungkapannya tadi? Sementara dia menyajikan fakta dengan begitu gamblangnya yang bahkan sayapun, sebagai bagian dari akademisi, juga melihat dan mengakuinya secara sadar. Lagipula, saya datang ke tempat itu dengan niatan tidak ingin berdebat. Hanya ingin membeli kue hasil bikinan mas itu tadi dan mengajaknya ngobrol untuk membunuh waktu. Sederhana sekali. Maka selama perbincangan kami tentang ini, saya lebih banyak mengeluarkan respon, “oooh.., mmm… begitu, iya, iya…”.

Dalam perjalanan pulang ke kos, pikiran saya sibuk bekerja. Pertanyaan utama dan pertama yang muncul adalah, benarkah kuliah benar-benar penting? Otak saya dengan segera menjawab, iya. Lalu muncullah pertanyaan kedua, mengapa? Urgensitasnya terletak di mana? Lama sekali saya mengobrak-abrik seluruh isi otak untuk menemukan jawaban yang tepat bagi pertanyaan ini.

Nah, ini dia. Akhirnya saya menemukan satu file di memori otak saya yang pas untuk menjawab pertanyaan ini. File itu berisi pernyataan seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, di kampung halaman saya sana. Dia menyatakan, pendidikan adalah investasi. Pendidikan dalam hal ini, oleh dia, dipersempit kepada pendidikan formal berikut segala jenjangnya. Secara tersirat dia mengungkapkan, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula investasi yang dia lakukan untuk mempersiapkan masa depannya.

Lalu bagaimana dengan realitas yang diungkap mas-mas di tas? Nah, itu dia. Ternyata, selangkah demi selangkah yang ditempuh selama seseorang menjalani proses investasi (baca: menempun jenjang pendidikan) ini juga perlu diperhatikan. Artinya, seseorang tidak sekedar berinvestasi, namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana ia menjalani proses investasinya dan dengan apa ia membangun investasi tersebut. Bahkan investasi yang dalam hal ini berupa pendidikan, tidak serta merta menjajikan kehidupan yang lebih baik, jika selama memprosesnya tidak dilakukan dengan sepenuh hati dan ‘bahan baku’ yang digunakan untuk membangunnya bukanlah hal-hal yang ‘dihalalkan’; skripsi pesanan, titel pesanan, dan sejenisnya.

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: