Home » » PEMUDA DAN PILAR KELIMA

PEMUDA DAN PILAR KELIMA

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

13 Desember kemarin, saya mengikuti sebuah seminar sehari yang mengusung tema “Menguak Genealogi Kekerasan dan Posisi Empat Pilar Kebangsaan Di Tengah Arus Kebebasan”. Dalam seminar yang terselenggara berkat kerjasama Gerakan Alam Pkir (Gerak Api), Forum Pemuda Cinta Tanah Air dan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia itu, hadir 3 orang yang dipandang ahli, sebagai narasumber. Salah satunya adalah seorang mantan anggota MPR.

Seminar kali itu tidak jauh berbeda dengan seminar-seminar kebanyakan; acara dengan format acara formal, diisi dan dihadiri oleh ‘orang-orang formal’, dan bisa jadi pula dengan bahan pembahasan yang –sebatas- formal(itas). Saya bukan tipe orang yang memandang sinis acara-acara semacam itu. Akan tetapi, jika segala apa yang diwacanakan hanya berhenti pada tahap pembicaraan dan konsep saja, maka sangat pas jika dianalogikan sebagai pisau tumpul; ada namun tanpa makna dan fungsi.

Pada sesi tanya-jawab, ada pertanyaan yang menarik untuk ditinjau ulang. Pertanyan yang disampaikan oleh salah satu audiens kepada seluruh marasumber yang hadir itu sebenarnya merupakan pernyataan yang mempertanyakan ulang finalitas 4 pilar kebangsaan. Dalam kaca mata Si penenya, empat pilar kebangsaan yang berupa pancasila, UUD ’45, NKRI, serta Bhineka Tunggal Ika kurang lengkap dan perlu disempurnakan dengan pemuda. Dia menginginkan 4 pilar kebangsaan direvisi menjadi 5 pilar dan bagian yang kelima adalah pemuda, khususnya mahasiswa.

Alasan historis dikemukakan oleh Si penanya itu. Gerakan reformasi 1998 yang yang digawangi oleh hampir mahasiswa seluruh Indonesia, telah berhasil menumbangkan rezim orde baru, setelah puluhan tahun berkuasa di bumi nusantara ini. gerakan yang mengusung tuntutan reformasi dan dihapusnya KKN tahun1997-1998 ini menjadi suatu bukti nyata besarnya kekuatan kaum muda, khususnya mahasiswa, serta signifikansi posisi mereka dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun saat ini yang justru jadi persoalan adalah apakah pemuda hari ini dapat disamakan secara kualitas, kuantitas, integritas, komitmen kebangsaan dan idealisme dengan kaum muda kala itu? Proses ‘melihat ke dalam’ saya rasa penting untuk dilakukan sebelum memberikan jawaban secara tegas dan jelas atas pertanyaan di atas.

Menjadi pilar kebangsaan sama dengan melindungi dan menjaga bangsa dan Negara agar tidak ambruk dan bubar. Sama halnya dengan sebuah bangunan, pilar sama pentingnya dengan pondasi. Oleh karena itu, memperhatikan kekokohan pilar sama pentingnya dengan mengindahkan kekokohan pondasi. Dan pilar yang kokoh ditentukan oleh material yang bermutu serta didukung oleh kuantitas memadai.

Lewat analogi di atas, saya ingin menyampaikan bahwa untuk menjadi pilar kebangsaan, pemuda haruslah memilki integritas, loyalitas, idealisme, serta kualitas keilmuan yang mumpuni. Sebab jika tidak, maka posisi pemuda yang diinginkan menjadi pilar bagi bangsa ini akan kropos dan kemudian runtuh.

Namun tentu saja sangat tidak adil jika semua pemuda hari ini dipandang lebih rendah kualitasnya dengan kaum muda dahulu. Hari ini, tentu masih ada beberapa pemuda yang tetap berpijak pada idealismenya. Namun yang jadi persoalan adalah, seberapa baanyak yang demikian, lebih-lebih setelah memiliki kedudukan di jajaran kepemerintahan.

Ada ungkapan masyarakat umum di daerah saya –tanpaknya terdapat pula di daerah lain, tentu dengan pengungkapan bahasa yang berbeda- yang sekilas tanpak bernada sinis dan penuh pesimistis, namun sejatinya mengandung nilai kebijakan yang sangat. Ungkapan itu berbunyi, ‘jhet kecca’ mun tak katebenan dibhi’’ (memang sok kalau tidak mengalami sendiri; bahasa Madura, red.). Ungkapan itu cukup memberi saya cambukan agar tidak banyak komentar tentang seseorang yang ‘keluar dari rel’. Sebab, bila saya berada di posisinya, belum menjamin kalau saya dapat lebih baik dari mereka ketika mengalami hal yang sama.

Saya pribadi cukup memdapatkan pelajaran tentang idealisme pemuda atau spesifiknya idealisme mahasiswa dalam film dokumenter Gie.

Begitu narasi dalam salah satu adegan yang diangkat dari catatan Soe Hok Gie, seorang aktivis idealis pada masa orde lama itu. ‘semoga apa yang lo perjuangkan tidak luntur sama diplomasi2 dan lobi2 untuk mempertahan posisi lo d sana.’ Begitu komentar Gie pada Jak, temannya, sesama aktivis yang dahulu sama-sama teguh memegang idealismenya.

Tokoh yang saat ini duduk di kursi kepemerintahan dan banyak menggayang uang rakyat, dulunya juga seorang mahasiswa yang idealis. Namun pada kenyataannya saat ini, ketika mereka menduduki posisi orang-orang yang dulunya mereka kecam habis-habisan, mereka menjadi melempem. Suara mereka yang dulunya lantang meneriakkan keadilan dan kebenaran, saat ini berbisikpun kesulitan.

Fenomena yang tanpaknya telah menyejarah itu, mengajarkan kita, kaum muda untuk segera berbenah. Bila tidak, ‘pemuda hari ini sebagai pemimpin masa depan’ hanya akan bertahan pada taraf semboyan dan jargon. Pemuda menjadi pemimpin masa depan, itu hal yang pasti. Karena memang pada eranya nanti sosok-sosok yang saat ini tanpak belialah yang memiliki masa untuk menggantikan mereka, para tua yang telah udzur. Tapi menjadi pemimpin yang bagaimana? Akankah menjadi pemimpin yang tidak jauh berbeda dengan para pemimpin pendahulu mereka?

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: