Home » » TIDAK MAIN-MAIN DENGAN BUKU ANAK

TIDAK MAIN-MAIN DENGAN BUKU ANAK

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tuisan oleh: Noer hasanatul Hafshaniyah

Dalam suatu kesempatan bermain dengan salah satu saudara yang sedang duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyyah (MI) –setara dengan jenjang pendidikan tingkat SD, penulis menemukan dua beksemplar buku yang tidak seharusnya ada di tangan anak-anak seusianya. Ketika ditanya dari mana mendapatkan buku tersebut, dia mengatakan bahwa dia membelinya di bazar buku yang diadakan sekolah.

Setelah memcari keterangan dari guru yang mengajar di lembaga tersebut, akhirnya diketahui bahwa beberapa waktu yang lalu ada seorang agen buku free lance yang membawa buku-buku ke sekolah MI tersebut dan memohon izin untuk menggelar bazar di sana. Pihak sekolah mengizinkannya. Padahal setelah ditelisik ulang, tidak sedikit dari buku yang dijual di bazar tersebut yang tidak cocok dengan “pasar” –masyarakat sekolah yang terdiri dari anak usia 13 tahun ke bawah.

Yang lebih miris adalah ketika penulis berkunjung ke perpustakaan sekolah tersebut dan mendapati beberapa buku yang senada dengan 2 buku tadi. Hal ini jelas menunjukkan lemahnya pengawasan pihak sekolah terhadap bahan bacaan anak –untuk tidak mengatakan pihak sekolah belum meemahami secara pasti kemampuan kognitif para siswanya dan apa yang cocok untuk anak yang berada pada tingkat kognitif yang demikian.

Kesesuaian dengan kemampuan kognitif
Kegiatan pembelajaran dapat berlangsung dengan baik jika disesuaikan dengan usia dan tahapan-tahapan kognitif siswa (Zainal Arifin: 2010). Demikian Peaget menjelaskan teorinya. Ditinjau dari segi tujuan penyajiannya, ungkapan tersebut bernada deskriptif –dapat dibaca dari oran “agar-maka” yang terdapat dalam ungkapan di atas.

Piaget sebagai salah satu tokoh yang menggagas teori pembelajaran kognitif, mengemukankan agar oran, bahan, strategi, dan bahkan media yang digunakan dalam proses pembelajaran haruslah disesuaikan dengan perkembangan kognisi peserta didik. Dalam hal ini, kognisi dipahami sebagai sebuah proses pemerolehan pengetahuan yang melibatkan kesadaran, perasaan, kemampuan intelektual, dan sebagainya. Dapat juga dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengenali serta menafsirkan pengalaman pribadi atau realitas sosialnya (KBBI edisi III).

Dalam teori revolusi pembelajaran, disebutkan bahawa seorang peserta didik dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang dibutuhkannya dari siapapun, di manapun, dan lewat media apapun. Sebab teori ini memposisikan seorang guru tidak lagi sebagai pusat pemerolehan ilmu pengetahuan yang tahu segala-galanya. Akan tetapi, posisi guru sejajar dengan internet, perpustakaan, buku, majalah, oran, para pakar, dan pihak lain yang dari merekalah para peserta didik dapat memperoleh informasi baru yang dibutuhkannya.

Jika teori revolusi pembelajaran tersebut ditelaah dengan kaca mata teori piaget yang telah dipaparkan di atas, maka akan lahir sebuah pandangan yang menyatakan bahwa apapun yang dapat memberikan informasi atau pengetahuan baru kepada peserta didik perlu disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan kognisinya agar efektif. Hasil searching di internet, bahan pustaka, buku, majalah dan oran, serta penjelasan-penjelasan para pakar dan lain sebagainya perlu disesuaikan dengan kognisi peserta didik dalam hal konten, cara penyampaian, ataupun media yang digunakan.

Berguru pada buku 
Buku merupakan sarana belajar sekaligus juga sumber ilmu pengetahuan. Lewat buku, peserta didik dapat memperoleh informasi baru, mengenal sesuatu di luar dirinya, mencoba berinteraksi –secara tidak langsung- dengan apa yang ada di buku itu, dan bahkan mereka dapat memperoleh hiburan dari buku-buku tersebut. Lebih jauh, peserta didik dapat pula mengenal siapa dirinya, di mana posisinya dalam suatu masalah yang dibahas oleh buku tersebut, dan apa yang mesti dan bisa dia lakukan. Namun demikian, kembali pada teori Piaget di atas, agar idealitas tersebut dapat benar-benar terealisir, perlu adanya kesesuaian antara konten dan bahkan desain buku dengan tahapan kognisi mereka.

Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dan orang tua para peserta didik, khususnya peserta didik yang masih berada pada jenjang kanak-kanak. Anak-anak masih belum mampu mengkonsumsi aneka ragam buku dengan berbagai macam konten. Sebab dalam dunia perbukuan memang ada konten-konten tertentu yang diperuntukkan bagi orang dewasa, karena memang hanya mereka yang dapat mencernanya.

Tidak hanya bacaan yang berbau pornografi yang tidak dapat dikonsumsi oleh anak. Buku-buku “berat” pun juga demikian. Seperti halnya buku-buku pengayaan bidang keilmuan tertentu, teologi, dan sebagainya. Upaya mendekatkan anak dengan buku serta menumbuh-kembangkan kecintaan anak akan aktivitas membaca justru dirusak oleh hal-hal yang demikian. Anak akan malas membaca karena ia kesulitan mencerna isi buku serta tidak menemukan relevansi antara apa yang diperolehnya di buku dengan kehidupan empirisnya.

Guru dan orang tua dituntut untuk mampu memilah-milih buku mana yang cocok bagi anak didik dan putra-putri mereka. Namun sebelumnya, mereka perlu mengenali secara pasti tinggakan kognitif anak didik dan putra-putri mereka, apa yang terjadi pada anak saat berada pada tingkatan kognitif yang demikian, serta apa kebutuh dan keinginan mereka.

Guru dan orang tua juga perlu mengenal dunia perbukuan. Paling tidak, seputar genre atau klasifikasi buku berdasarkan kontennya serta ciri khas masing-masing genre tersebut dari segi tampilan fisik. Hal ini perlu dilakukan agar para guru dan orang tua juga tidak salah pilih dalam menyediakan bahan bacaan bagi anak didik dan buah hati mereka.

Yogyakarta, 16 April 2013

Penulis adalah putra Pulau Garam tulen. Saat ini menjadi asisten peneliti di CDIE (Center for Developing Islamic Education) fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga.  Dan kader HMI komfak tarbiyah".
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: