Home » » MEMBANGUN ORGANIZATIONAL BUILDING SANTRI MELALUI SMALLGROUP

MEMBANGUN ORGANIZATIONAL BUILDING SANTRI MELALUI SMALLGROUP

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam tertua di tanah air ini. hal ini dapat dilihat dari sejarah munculnya pesantren yang bersamaan dengan awal penyebaran dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya pulau Jawa. Dan sebagaimana diketahui bersama, proses penyebaran Islam ini dipelopori oleh Wali Songo. Meskipun tidak banyak literatur yang membahas tentang sejarah berdirinya pesantren di tanah air, namun dalam beberapa referensi, disebutkan bahwa lembaga pendidikan agama Islam model pesantren yang pertama kali berdiri didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi. Kesimpulan ini diambil berdasarkan fakta bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik inilah yang tersepuh di antara kesembilan wali penyebar agama Islam di tanah jawa. Beliau kembali ke hadlirat-Nya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 822, bertepatan dengan 8 April 1419.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kurikulum serta metode pengajaran yang khas. Ia sering kali menggunakan metode pengajaran serta pendidikan non pemerintah. Artinya, ia mencoba menyusun bahan ajar secara mandiri dan tidak berpedoman pada kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah saat itu. Karena kurikulum dan metode pengajarannya yang khas tersebut, maka tidak heran jika dalam dunia pendidikan nusantara, dikenal sebuah istilah ‘model pendidikan dan pengajaran ala pesantren’. Sebab pesantren memang memiliki kurikulum dan model pembelajaran khusus dalam mendidik para santri yang menimba ilmu di dalamnya.

Tidak hanya menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren dengan segala elemen yang ada di dalamnya, juga menempati posisi sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Sebab lewat model kepemimpinan kharismatik yang dimainkan oleh Kyai sebagai pimpinan pesantren, pesantren seringkali menjadi pusat bertanya serta tempat menemukan problem solving bagi setiap pertanyaan dan persoalan yang dialami oleh masyarakat, khususnya yang ada di sekitar pesantren.

Walaupun pesantren merupakan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama, tetapi pihak pesantren yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kyai, tidak hanya dipercaya untuk memecahkan persoalan-persoalan agama. Persoalan sosial, politik, ekonomi, bahkan kesehatan, segala penyelesaiannya dipasrahkan di tangan Kyai. Kyai menempati posisi teratas dalam strata sosial kemasyarakatan. Bahkan penghormatan masyarakat terhadap kyai telah melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat di daerah tersebut.

Pesantren yang tersebar di seluruh nusantara ini, terdiri dari berbagai macam ragam. Ia memiliki kategorisasi-kategorisasi yang di hasilkan melalui peneropongan terhadap aspek yang berbeda-beda. Oleh karena itu, maka jenis-jenis pesantren sangat tidak memungkinkan untuk diseragamkan atau dipukul rata.

Ditinjau dari segi kurikulumnya, pesantren terbagi dalam 3 kategori. Yaitu pesantren modern, takhassush, dan pesantren campuran. Dan bila pesantren ditinjau dari segi muatan kurikulumnya, maka kemudian ia terbagi dalam kategori pesantren sederhana, sedang, dan paling maju. Sedangkan dalam aspek inklusifitas serta eksklusifitasnya, Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan pesantren dalam 2 bagian. Pertama, pesantren Salaf (klasik) dan selanjutnya dalah pesantren Khalaf (modern.

Selanjutnya, Zamahksyari Dhofier memaparkan bahwa pesantren Salaf adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai pokok pengajaran di pesantren dan tanpa memasukkan pengetahuan umum ke dalamnya. Sedangkan pesantren Khalaf adalah sebaliknya. Yaitu pesantren yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Sederhananya, pesantren Khalaf merupakn pesantren yang di dalamnya terdapat sekolah umumnya.

Dalam realitas kehidupan masyarakat, harapan terhadap perubahan yang akan dibawa oleh santri sangatlah besar. Harapan serta tujuan para orang tua memondokkan putra-putrinya ke pesantren adalah agar lingkungan serta proses penempaan diri di pesantren dapat membawa perubahan pada diri sang anak, keluarga, serta kehidupan masyarakat secara luas. Perubahan yang diharapkan tersebut tidak hanya dalam aspek relijiusitas serta keilmuan. Akan tetapi mencakup segala aspek, termasuk aspek ekonomi, sosial, politik. Dan untuk memenuhi harapan besar ini, seorang santri membutuhkan kecakapan memanaj dan mengorganisir.

Ilmu organisasi berikut menejemennya sangat memungkinkan untuk dikuasai oleh para santri di pesantren Khalaf setelah mempertimbangkan inklusifitasnya pada ilmu pengetahuan umum –sebab ilmu organisasi dan manajemen merupakan bagian dari ilmu umum. Kedua bidang keilmuan tersebut dapat diajarkan secara teoritis melalui jenjang pendidikan formal, maupun secara praktis melalui pembentukan organisasi internal pesantren atau pengikutsertaan para santri dalam organisasi eksternal pesantren.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren Khalaf. Pesantren Khalaf yang titik tekannya hanyalah penguasaan santri terhadap ilmu agama, sangat tidak memungkinkan untuk memberikan perhatian secara khusus terhadap keterampilan mengorganisir dan memanaj santri. Ditambah lagi dengan rutinitas pesantren Khalaf yang cendrung dipadati dengan kegiatan pembelajaran dan penguasaan kitab klasik –baik itu melalui sistem sorogan,bendongan, wetonan ataupun sistem musyawarah.

Terkait dengan problematika pesantren Salaf ini, refofmasi secara masif sangatlah sulit untuk dilakukan. Lebih-lebih setelah melihat otoritas penuh yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan pesantren atau Kyai serta kecendrungannya yang tidak bisa dipukul rata. Oleh Karen itu, maka perlu dilakukan reformasi secara bertahap serta memaksimalkan peluang yang ada.

Secara praktis, keterampilan berorganisasi serta menejemennya dapat dilatih melalui maksimalisasi kerja kelompok. Baik itu dalam kegiatan edukatif maupun non edukatif, seperti halnya kelompok piket membersihkan lingkungan pesantren. Kemampuan dasar, seperti penanaman dan pengembangan jiwa kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, bekerjasama, dan timing dapat ditumbuhkembangkan melalui pengelompokan ini. Sebab dalam dinamika kelompok, memimpin, berkomunikasi, bekerjasama, dan pengaturan waktu demi tercapainya tujuan bersama merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Wallahu a’lam bis shawaab.

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
: