photo himpunanmahasiswamuslimcopy_zps1913de9e.png

Latest Post

MENUAI MAKNA SILATURRAHIM

Jumat, 27 Februari 2015 | 0 komentar

HMI KOMFAK TARBIYAH mengadakan kunjungan ke rumah kanda Ma'ruf Yuniarno pada tanggal 12-januari-2013. Kunjungan ini merupakan bagian program kerja dalam satu periode ini 1433-1434/2011-2012. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin atau bisa dikatakan tradisi HMI dari waktu-kewaktu. Namun, sejak saya menjadi bagian HMI pada tahun 2009 belum pernah berkunjung ke rumah pasca maupun alumni, padahal ini adalah bagian dari tradisi “katanya”. Oleh karena itu, kunjungan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali tradisi yang sudah mulai luntur. Selain itu, keyakinan tentang silaturrahim  menambah rejeki dan menambah panjang umur juga ikut serta dalam keyakinan saya.

Pada jam 11.00 anggota Komisariat Fakultas Tarbiyah berangkat dari kampus UIN menuju rumah kanda Ma'ruf yang terdiri dari pengurus dan kader. Perjalanan menuju rumah beliau kira-kira memakan waktu satu jam lebih sehingga kita tiba disana pada jam dua belas     lebih. Sesampainya disana, kamipun disambut dengan ramah dan penuh suasana ke-keluargaan. Penyambutan beliau sangat menyentuh hati, dari tutur kata dan gerak tubuh beliau menunjukkan seorang yang sangat lemah lembut dan punya penghargaan yang tinggi pada para tamu. Sempat terbesit dalam benak saya pribadi “inilah gambaran hasil dari perkaderan HMI”. Melihat tujuan HMI “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi Insan Ulil Albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah” harus juga terlihat dari individu-individu yang handal di bidang intelektual dan sosial. Tujuan HMI akan terwujud apabila ditopang dengan kemampuan individu-individu yang akan membentuk masyarakat unggul dalam keilmuan dan memiliki andil dalam aktivitas sosial sebagai bagian dari masyarakat.

Beliau mulai dengan memperkenalkan diri, setelah itu dilanjutkan dengan perkenalan kami satu persatu yang berjumlah sembilan orang. Cecep Jaenudin sebagai sekretaris memulai pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. Pada waktu beliau menjabat sebagai ketua umum, apakah ada kader yang tidak aktif?.  Kemudian dia menambahkan, apakah ada sikap seorang kader yang seolah-olah alergi ketika bertemu-dengan pengurus?. Beliau menjawab, “ada mas. Saya yakin setiap periode permasalahan semacam itu tidak pernah absen tinggal bagaimana kita sebagai “pengurus” menyikapinya. Kalau dulu ketika saya menjadi ketua, untuk mendapat perhatian dan loyalitas terhadap organisasi, saya silaturrahim ke kos-an para kader. Kegiatan semacam itu sangat besar pengaruhnya terhadap gerak laju organisasi. Organisasi akan terhambat lajunya jika para kader dan pengurus sudah tidak punya rasa kepemilikan terhadap organisasinya. Salah satu cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dengan adanya acara semacam ini, yakni silaturrahim bersama”, hal senada juga pernah disampaikan oleh pasca yang lain, Pak Ihab Habudin. Semakin anda sering “berkumpul” (hal-hal positif) maka kedekatan secara emosianal akan terbangun dan sangat berdampak positif terhadap kesolid-an dalam berorganisasi. Salah satu yang sering saya kunjungi adalah Mba' Dian dan terbukti pada acara reuni temu kangen marakom pada tanggal 30 desember 2012 beliau dating, ungkapnya.

Sekarang tantangan mahasiswa lebih berat. Kalau dulu, pada masa Orde Baru tantangan mahasiswa adalah pemerintah dengan pemaksaan ideologinya “asas tunggal”, paling mentok kita berurusan dengan militer dan berujung di buih, sedangkan sekarang anda berhadapan dengan 75% sebagai kebijakan kampus, pragmatis dan hedonis juga melanda mahasiswa dan mahasiswi sebagai dampak perubahan zaman. Masalah yang pertama yang anda hadapi sudah terorganisir dan tersistem dengan baik, sedangkan yang kedua musuh yang tidak nyata, tapi sangat dirasakan dan sangat berdampak terhadap kendurnya gerakan yang ada. Adanya kebijakan 75% sangat berpengaruh terhadap kegiatan organ ekstra, sehingga kegiatan ektra tidak banyak diminati oleh mahasiswa dan terbukti hampir semua organ ekstra, mengalami penurunan jumlah kader.

Mahasiswa lebih memilih kampus sebagai tempat berproses bukan atas dasar kesadaran tetapi, atas dasar keterpaksaan sehingga, implikasinya segala kegiatan yang bersifat kemasyarakatan tidak tersentuh. Berbeda misalnya dengan kegiatan yang ada dalam organisasi, hampir semua organ terjun-lapangan dan berkontribusi terhadap persoalan masyarakat. Taruhlah contoh yang pernah dilakukan HMI, kegiatan yang bersifat kemasyarakatan seperti baksos, mendirikan desa binaan, mengajar anak jalanan, dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih menekankan pada aksi nyata dalam mengurangi kesenjangan antara teori dan praktek. Berbeda dengan dunia kampus yang hanya berfokus pada aspek intelektual saja dan mengabaikan aspek lainnya.

Satu hal yang membuat kita dewasa adalah masalah.  Dunia  diciptakan memang dengan semua permasalahannya di mana tugas manusialah untuk memecahkan masalah dan Allah sudah memberikan petunjuk lewat Al-qur'an dan hadist. Maka hadapilah masalah itu jika, memang masalah itu bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.

Pengalaman hidup banyak mengajarkan kita sebuah pelajaran tentang values (nilai-nilai) kehidupan. Values dapat membawa kita dari bukan siapa-siapa menjadi seorang yang menjadikan kita mempunyai pandangan hidup yang lebih memberikan penghayatan atas semua yang akan kita jalani nantinya. Kita mungkin banyak melihat bertapa banyaknya orang yang gagal atau menjadi pencundang dalam arena kehidupan hanya karena mereka kecewa menerapkan values yang semestinya.


Ahirnya, hidup menjadi berarti jika kita mengisinya dengan sebuah perencanaan dan usaha tentang hal-hal yang baik. Yang paling penting dari semua itu adalah meskipun perencanaan itu berunjung pada kekecewaan, tetapi hidup ini adalah pemberian Tuhan. Maka selama kita hidup, nikmatilah hidup dengan bagaimana kita bergaul dengan suka cita dan harapan. Hanya dengan demikian kita dapat menemukan keindahan hidup, pendek atau panjang umur kita. Kita dapat menikati keindahan hidup, kaya atau miskin keadaan kita, karena hidup adalah anugrah.
Continue Reading

SUSUNAN PENGURUS HMI-MPO

Minggu, 30 Juni 2013 | 2komentar

SUSUNAN PENGURUS HMI-MPO

KOMFAK TARBIYAH UIN SUNAN KALIJAGA

PERIODE 1433-1434/2012-2013

TEMA KOMISARIAT:

“MEMBANGUN PROGRESIVITAS KADER MENUJU MAHASISWA ISLAM YANG KRITIS DAN MILITAN”

Ketua umum              : Abdul Ghefur
Sekretaris umum      : Cecep Jaenudin
Bendahara umum     : Moh Edi Komara

Unit Pengembangan Intelektual dan Pelatihan
Kepala Unit   : Emha Mujtaba
Anggota         : Ferly Ummul Muflihah
                       : Amelia Cahya Ningsih

Unit Hubungan Sosial dan Masyarakat
Kepala Unit   : Nur Rohman
Anggota         : Afi Farkhan Mansur
                       : Muhtadin

Unit Media dan Informasi 
Kepala Unit   : Feby Armal 
Anggota         : Rahmat Ibrahim 

Unit Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan 
Kepala Unit   : Mahfuzh 
Anggota         : Hamzah Dal Alif as-Sayyaf 

Continue Reading

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan (Sebuah Relevansi dengan Teologi Pembebasan)

Selasa, 25 Juni 2013 | 0 komentar

Tulisan oleh: Cecep Jaenudin

 Pendidikan di negeri ini tidk pernah sepi dari berbagai isu yang mengitarinya. Kapitalisasi dan komersialisasi adalah dua diantara sekian banyak isu yang menjegal progresifitas pendidikan di negeri ini. Keduanya semakin menyuburkan kompetisi “liar” antar lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lainnya.

Potret pendidikan yang demikian itu semakin menghanyutkan pendidikan pada aspek ritual belakadengan biayanya yang kian melangit. Masih mending bagi mereka yang berduit. Ujung-ujungnya adalah orang miskin yang jadi korban di negeri ini. Mereka yang hanya memiliki uang pas-pasan untuk hidup semakin dicekik dengan pendidikan yang telah diobok-obok itu. Padahal bukankah setiap warga Negara di negeri ini berhak untuk mendapat pendidikan yang layak?.

Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah ini kecuali dengan mengambil tindakan-tindakan alternatif yang cukup radikal. Pendidikan negeri iniperlu dibersihkan sebersih-bersihnya untuk menjadi pendidikan yang seharusnya. Pendidikan yang membebaskan. Pendidikan revolusioner seperti konsep-konsep teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan pedagogy of the oppressed Paulo freire.

Oleh karena itu tulisan ini mencoba merelevansikan pendidikan dengan konsep teologi pembebasan. Hal ini begitu sangat dibutuhkan untuk mengangkat citra pendidikan dan mengembalikannya kepada fungsi yang seharusnya. Sudah seharusnya pendidikan negeri ini direvokusi dan rekonstruksi. 

Relevansi Pendidikan dan Teologi Pembebasan

Adakah hubungan antara pendidikan dan teologi pembebasan? Bagaimana relevansi dan korelasi antara keduanya?. Kedua pertanyaan itu adalah pengantar untuk memahami tulisan ini. Pendidikan yang hidup di lajur akademisi dengan lembaga-lembaga yang telah berserakan hampir di setiap sudut kota, memang tidak memiliki integritas dengan teologi pembebasan yang tumbuh dalam ranah-ranah religi-revolusioner . Namun ternyata ketika dihadapkan dengan potret-potret realitas negeri ini sekarang, semuanya memilikki relevansi bahkan korelasi yang cukup kuat serta bersimbiosis mutualisme satu sama lain.

Pendidikan saat ini, di Indonesia khususnya telah menjadi alat dan lading komersialisasi, politisasi dan kapitalisasi para pemilik modal . Biaya pendidikan yang kian melangit serta kurikulum-kurikulum yang senjang terhadap realitas kehidupan, menjadikan pendidikan hanya menjadi objek bisnis yang pada ruang lain menindas dan memarjinalkan mereka yang hidup di ambang garis kemiskinan. Tidak sedikit satuan dan lembaga pendidikan yang berlomba-lomba membangun gedung yang megah dengan predikat-predikatnya yang unggulan dan bermacam-macam, berkompetisi satu dan yang lainnya.

Hal ini tentunya berdampak pada biaya siswa yang tidak sedikit. Dengan alasan uang biaya bangunan dan semacamnya, pihak-pihak dari lembaga pendidikan biasanya menarik biaya yang tanpa tedeng aling-aling lagi kepada siswa.

Sementara itu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin kocar-kacir dengan keadaan semacam itu . Kebanyakan mereka harus lebih keras lagi membanting tulang dan memeras keringat, sejak pagi hari sampai malam hanya agar bias tetap menyekolahkan anaknya. Tidak sedikit juga dari mereka yang “mengelus dada” atas semua realitas yang mendera hidup mereka.

Belum lagi mereka yang hidup du gubuk-gubuk kumuh pinggir kota, gerbong-gerbong kereta yang using, serta mereka yang hidup di bawah kolong jembatan. Untuk makan tiap hari pun mereka tidak mampu untuk menjamin.

Di samping masalah eksternal lembaga dan satuan pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata masih banyak juga permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah. Mulai dari guru yang kurang kompeten dalam mengajar, buku-buku matapelajaran yang menyedot tariff tinggi, serta ketidakhumanisan dalam proses pembelajaran terhadap siswa. Hal itu semakin membuat potret pendidikan negeri ini jauh dari kata memanusiakan manusia. Justru tanpa sadar telah terjerumus dalam ungkapan yang disebut dengan “penindasan”. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh salah sati tokoh pendidikan kenamaan Brazil Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul pendidikan kaum tertindas.

Nilai-nilai sosial-religius pun cenderung menurun di lingkungan pendidikan saat ini. Banya kasus-kasus asusila yang diberitakan oleh berbagai media masa yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tawuran antar pelajar, pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual sampai narkoba telah marak di dunia pelajar saat ini. Hal demikian membuat fungsi lembaga dan satuan pendidikan dipertanyakan eksistensinya sebagai penjaga nilai.

Di sinilah pendidikan memerlukan yang namanya “pembebasan”. Pendidikan harus lepas dari segala permainan sistem yang menjadiikannya penindas. Baik itu bagi siswanya sendiri maupun mereka yang berharap anaknya bersekolah. Pendidikan tidak hanya untuk mereka yang berdasi dan memiliki segudang perhiasan. Tapi juga adalah suatu hak bagi mereka si miskin, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945. . Pendidikan pun harus di kembalikan kearah fungsionalisnya semula sebagai penjaga niali-nialai masyarakat dan kehidupan, khususnya sosial-religius.

Gerakan pembebasan dan transformasi pendidikan ini dahulu telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dalam strategi gerakan dakwah islam menuju transformasi sosial. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa gerakan dakwah pada masa nabi dipraktikan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya . Begitupun juga dengan aspek pendidikan. Sebagaimana Nabi telah menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya.

Demikianlah relevansi dan korelasi yang tercipta antara pendidikan dan teologipembebasan. Pendidikan memerlukan pembebasan untuk mewujudkan tujuan utamanya memanusiakan manusia . Begitupun juga teologi pembebasan yang dapat menjadikan pendidikan sebagai jasad ideologinya untuk menghapus segala bentuk penindasan.

Pendidikan dan Masyarakat

Pendidikan itu adalah salah satu unsur yang diperlukan untuk membangun suatu masyarakat . Suatu masyarakat tentu akan tertinggal jika tidak beraktualisasi dengan dinamika pendidikan. Baik itu peradaban atau pun kebudayaan tentu akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran, jika tidak diimbangi dengan pendidikannya. Realitas telah membuktikan bahwa semakin maju pendidikan maka semakin maju pula peradaban dan kebudayaan. Hal ini seperti yang telah diperlihatkan oleh Negara-negara maju di barat. Pendidikan mempunyai peran yang cukup sentral dalam masyarakat begitu juga dengan fungsi pendidikan itu sendiri.

 Seperti halnya unsur-unsur masyarakat yang lain, pendidikan pun memiliki fungsinya sendiri. Dalam makalahnya Imam Hanafi mengatakan bahwa pendidikan dalam pandangan klasik memiliki tiga fungsi utama. Pertama, pendidikan memiliki fungsi sebagai alat proses mempersiapkan generasi penerus di lingkungan masyarakat. Kedua, pendidikan berfungsi mentransferkan pengetahuan kpada generasi penerus yang telah dipersiapkan sesuai fungsinya masing-masing. Ketiga, pendidikan berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai yang melestarikan kebudayaan dan peradaban masyarakat.

Idealitasnya sudah jelas bahwa pendidikan bukanlah sebatas degelan bagi masyarakat. Pendidikan setidaknya memiliki tanggungjawab untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Pendidikan harus lepas dari segala terma-terma negatif yang sekarang ini banyak melekat. Mulai dari kapitalisasi sampai komersialisasi pendidikan itu sendiri. Pendidikan gaya bank sudah seharusnya dihapuskan sekarang apabila masyarakat ingin kembali meraih kemajuan . Pendidikan harus direkonstruksi dan dibersihkan dari segala noda-nodanya sebersih-bersihnya.

Jika realitas masyarakat dan pendidikan saat ini sedang dininabobokan dijauhkan dari nilai-nilai dan hakikat idealitasnya, menyedihkan. Sudah sepatutnya bagi kita yang tahu untuk menyampaikan dan menyadarkan masyarakat dengan “melek huruf kritis”. Istilah ini adalah istilah gerakan yang pernah dilakukan oleh tokoh pendidikan terkemuka Brazil Paulo Freire . Gerakan ini dilakukan Freire untuk memberantas buta huruf di Brazil khususnya yang diderita oleh para petani di sana. Hal ini dilakukan untuk membebaskan para petani dari segala macam bentuk eksploitasi para penindas.

Demikianlah pendidikan memang bertanggungjawab untuk mengentaskan ketertinggalan masyarakat dalam peradaban dan kebudayaannya. Tapi saat ini penddidikan pin harus dibersihkan dulu dari segala macam belenggu-belenggu kapitalisasi dan komersialisasinya. Dengan membebaskan pendidikan diharapkan dapat terlahir pendidikan yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari ketertinggalannya, serta dapat menjalankan dan memenuhi fungsi-funsgsinya seperti yang semestinya.  

Tindakan Kultural Menuju Pendidikan Pembebasan

Segala macam teori dan cita-cita tanpa disertai dengan tindakan nyata hanyalah angan belaka. Banyak sederet program dan perencanaan-perencanaan dengan embel-embel slogan “menjadi lebih baik”, akan tetapi ketika dilemparkan pada reakitas hanya bersifat utopis belaka. Inilah yang perlu dipahami dan diketahui oleh generasi-generasi yang mengaku revolusioner. Tindakan-tindakan nyata yang perlu kita lakukan dalam masyarakat melalui kultur kebudayaan yang telah hidup di tengah-tengah kehidupan mereka.

Freire mengatakan bahwa diperlukan refleksi dan aksi yang kritis untuk menangani masalah di atas . Tindakan kultural adalah aksi yang digagas oleh Freire. Perkataan-perkataannya telah banyak dimuat dalam berbagai buku yang ditulisnya. Optimisme yang dibawanya selalu member semangat bagi kaum revolusioner. Gerakan melek huruf kritis adalah salah satu contoh tindakan refleksi kritis yang dicetuskannya.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa kebudayaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat. Keberadaan kebudayaan di tengah-tengah memiliki nyawa yang sangat kuat. Ki hajar dewantara mengatakan bahwa budaya adalah hasil cipta dan karsa manusia. Sehingga wajarlah kalau budaya dan masyarakat memiliki hububgan yang sangat erat. Di samping itu Ahmad Janan dalam tilisannya mengatakan bahwa budaya adalah merupakan hasil budi dan daya manusia .

Islam pada hakikatnya menghendaki budaya ma’ruf. Budaya yang mengantarkan manusia pada tingkat ahsanul kholiqin. Islam memang tidak terlepas dari dua sumber yaitu Al-Quran dan Al-Hadits dalam menghadapi dan memecahkan persoalan realitas. Namun meskipun begitu islam tidak lantas mengalami kepicikandalam menghadapi dinamika. Islam justru menghormati bahkan menghendaki perubahan. Al-Quran dan Al-Hadits adalah marka agar segala perubahan dan maneuver-manuver kita selaras dengan dengan apa yang dikehendaki dan diridhoi Allah SWT.

 Tindakan kultural adalah alternatif jalan untuk revolusi pendidikan yang membebaskan. Alternatif ini mengantarkan pada tataran realitas masyarakat yang sebenarnya. Budaya telah memiliki kedudukan yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Jika budaya itu tidak dilestariakan dan diarahkan oleh kita maka jangan salahkan apabila ada budaya lain yang akan mengisi dan menggeser kebudayaan-kebudayaan semula.

Kita sadar sepenuhnya bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan pokok di dalam merumuskan bentuk atau pola suatu kebudayaan yang menjadi cirri suatu masyarakat. Pendidikanpun juga merencanakan pola pemindahan kebudayaan daru suatu generasi ke generasi selanjutnya dan sekaligus berupaya bagaimana cara pengembangan dan mengarahkannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu bertambahdan berubah.



“Penulis adalah Sekretaris Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013. 


Tulisan ini pernah disampaikan pada forum penyeleksian peserta LK 2 HMI Cabang Semarang 2013.

 



 
Continue Reading

AGAR MAU DAN BERANI MENULIS (ARTIKEL)

| 0 komentar

Judul buku: Menembus Koran Edisi II; Berani Menulis Artikel 

Penulis: Bramma Aji Putra 

Penerbit: easymedia 

Cetakan: Mei, 2012 

Tebal: x + 143 halaman 

Resonator: Nur Hasanatul Hafshaniyah* 

Menulis –apapun jenis tulisannya- memang sekilas tanpak sebagai aktivitas yang sederhana. Namun ternyata tidak demikian ketika seseorang berniat untuk meleburkan diri, masuk secara total dalam dunia ini. Jika kegiatan menulis tidak ingin dikatakan rumit –untuk menghindari stigma negatif, maka paling tidak, menulis bisa dikatakan unik karena meskipun menulis adalah bagian dari proses berbagi dan menguatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mereka yang melakoninya, namun ia adalah skill, bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluas apapun penguasaan seseorang terhadap teknik dan tata cara menulis yang baik, jika ia tidak pernah mencoba dan membiasakan diri untuk menulis, maka sampai hari kiamat tibapun ia tidak akan pernah bisa menulis.

Namun ada fakta lain terkait dengan pembiasaan menulis tersebut. Ternyata seseorang tidak akan pernah bisa membiasakan diri menulis jika ia tidak memiliki modal keberanian. Sebab proses kreatif kepenulisan bukanlah jalan lapang yang tanpa aral melintang. Kekhawatiran dan rasa takut sering kali menghantui mereka yang ingin menekuni dunia kepenulisan. Mulai dari soal menarik tidaknya tema yang diangkat dan sudut pandang yang diambil, dimuat tidaknya oleh sebuah media yang dituju, hingga pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti kesesuaian dengan teknik penulisan, pilihan diksi serta ketepatan tanda baca.

Itulah kurang lebih yang membuat keberanian sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang ingin terjun ke dunia tulis-menulis. Berani untuk dikritik, berani untuk ditolak sebuah media, dan yang terpenting adalah berani untuk setia pada proses menjadi seorang penulis. Inilah kurang lebih yang melatar belakangi Bramma Aji Putra mengambil tagline “Berani Menulis Artikel” dalam edisi kedua buku Menembus Koran ini.

Bila buku Menembus Koran edisi pertama lebih banyak berbicara tentang teknis penulisan dan trik bagaimana agar sebuah artikel dapat menembus media, pada edisi kedua ini penulis lebih provokasi para pembacanya agar berani menulis –apa saja, khususnya- artikel. Gerakan provokasi ini dia lakukan dalam dua bentuk. Pertama, dengan memaparkan keuntungan yang didapat oleh seseorang lewat aktivitas menulis. Dan yang kedua adalah dengan mengungkap cara sederhana dan mudah yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai macam kendala saat menulis.

Sebagai bentuk dari gerakan provokasi pertama, penulis banyak berbicara tentang menulis sebagai bentuk dari kepandaian seseorang, dapat mempertajam ingatan, dapat menjadi obat penyakit batin dan psikis, serta tak lupa ia menambahkan pembahasan bahwa dengan menulis seseorang juga akan memperoleh keuntungan secara finansial dan ketenaran nama. Sedangkan bentuk gerakan profokasinya yang kedua yaitu paparannya di halaman 16 tentang cara jutu mengabadikan mood menulis.

Selain itu, agar selama seseorang menjalani proses penulisan berjalan lancar, tidak macet dan tulisan yang dihasilkannyapun tanpak apik dan renyah dibaca, penulis menjawab dengan latihan menulis diary (hal. 24), rakus membaca (hal 27), memiliki seorang figure penulis yang diidolakan (hal. 53) dan banyak pembahasan lainnya yang tersebar di beberapa halaman.

Menariknya, selain dikemas dengan bahasa yang sangat personal dan ringan, buku ini ditulis berdasarkan pengalaman sang penulis langsung, selain tentu ditopang dengan berbagai literatur. Seperti pada pembahasan tentang menulis sebagai terapi jitu saat recovery. Pada pembahasan itu, selain penulis bercerita tentang Dahlan Iskan yang mampu melahirkan sebuah buku justru ketika menjalani operasi ganti hati, dia juga bercerita tentang pengalaman pribadinya melawan flu-batuk-demam dengan menulis yang membuatnya terbaring lemas selama dua hari.

 Inilah yang membuat apa yang ada dalam buku ini terasa begitu nyata dan dekat dengan kehidupan para pembacanya. Hubungan emosional yang dijalin secara tak langsung –dan bahkan mungkin tak disengaja oleh penulisnya- inilah yang dapat menggerakkan para pembaca buku ini untuk segera menyalakan laptop dan segera pula mulai mengetik di atas keyboard.

*jurnalis. Tinggal di ‘kota buku’, Yogyakarta. 

"Resensi buku oleh Nur Hasanatul Hafshaniyah kader HMI komfak tarbiyah UIN Suka Yogyakarta".
Continue Reading

MEMBANGUN ORGANIZATIONAL BUILDING SANTRI MELALUI SMALLGROUP

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam tertua di tanah air ini. hal ini dapat dilihat dari sejarah munculnya pesantren yang bersamaan dengan awal penyebaran dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya pulau Jawa. Dan sebagaimana diketahui bersama, proses penyebaran Islam ini dipelopori oleh Wali Songo. Meskipun tidak banyak literatur yang membahas tentang sejarah berdirinya pesantren di tanah air, namun dalam beberapa referensi, disebutkan bahwa lembaga pendidikan agama Islam model pesantren yang pertama kali berdiri didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi. Kesimpulan ini diambil berdasarkan fakta bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik inilah yang tersepuh di antara kesembilan wali penyebar agama Islam di tanah jawa. Beliau kembali ke hadlirat-Nya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 822, bertepatan dengan 8 April 1419.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki kurikulum serta metode pengajaran yang khas. Ia sering kali menggunakan metode pengajaran serta pendidikan non pemerintah. Artinya, ia mencoba menyusun bahan ajar secara mandiri dan tidak berpedoman pada kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah saat itu. Karena kurikulum dan metode pengajarannya yang khas tersebut, maka tidak heran jika dalam dunia pendidikan nusantara, dikenal sebuah istilah ‘model pendidikan dan pengajaran ala pesantren’. Sebab pesantren memang memiliki kurikulum dan model pembelajaran khusus dalam mendidik para santri yang menimba ilmu di dalamnya.

Tidak hanya menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren dengan segala elemen yang ada di dalamnya, juga menempati posisi sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Sebab lewat model kepemimpinan kharismatik yang dimainkan oleh Kyai sebagai pimpinan pesantren, pesantren seringkali menjadi pusat bertanya serta tempat menemukan problem solving bagi setiap pertanyaan dan persoalan yang dialami oleh masyarakat, khususnya yang ada di sekitar pesantren.

Walaupun pesantren merupakan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama, tetapi pihak pesantren yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kyai, tidak hanya dipercaya untuk memecahkan persoalan-persoalan agama. Persoalan sosial, politik, ekonomi, bahkan kesehatan, segala penyelesaiannya dipasrahkan di tangan Kyai. Kyai menempati posisi teratas dalam strata sosial kemasyarakatan. Bahkan penghormatan masyarakat terhadap kyai telah melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat di daerah tersebut.

Pesantren yang tersebar di seluruh nusantara ini, terdiri dari berbagai macam ragam. Ia memiliki kategorisasi-kategorisasi yang di hasilkan melalui peneropongan terhadap aspek yang berbeda-beda. Oleh karena itu, maka jenis-jenis pesantren sangat tidak memungkinkan untuk diseragamkan atau dipukul rata.

Ditinjau dari segi kurikulumnya, pesantren terbagi dalam 3 kategori. Yaitu pesantren modern, takhassush, dan pesantren campuran. Dan bila pesantren ditinjau dari segi muatan kurikulumnya, maka kemudian ia terbagi dalam kategori pesantren sederhana, sedang, dan paling maju. Sedangkan dalam aspek inklusifitas serta eksklusifitasnya, Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan pesantren dalam 2 bagian. Pertama, pesantren Salaf (klasik) dan selanjutnya dalah pesantren Khalaf (modern.

Selanjutnya, Zamahksyari Dhofier memaparkan bahwa pesantren Salaf adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai pokok pengajaran di pesantren dan tanpa memasukkan pengetahuan umum ke dalamnya. Sedangkan pesantren Khalaf adalah sebaliknya. Yaitu pesantren yang terbuka terhadap pengetahuan umum. Sederhananya, pesantren Khalaf merupakn pesantren yang di dalamnya terdapat sekolah umumnya.

Dalam realitas kehidupan masyarakat, harapan terhadap perubahan yang akan dibawa oleh santri sangatlah besar. Harapan serta tujuan para orang tua memondokkan putra-putrinya ke pesantren adalah agar lingkungan serta proses penempaan diri di pesantren dapat membawa perubahan pada diri sang anak, keluarga, serta kehidupan masyarakat secara luas. Perubahan yang diharapkan tersebut tidak hanya dalam aspek relijiusitas serta keilmuan. Akan tetapi mencakup segala aspek, termasuk aspek ekonomi, sosial, politik. Dan untuk memenuhi harapan besar ini, seorang santri membutuhkan kecakapan memanaj dan mengorganisir.

Ilmu organisasi berikut menejemennya sangat memungkinkan untuk dikuasai oleh para santri di pesantren Khalaf setelah mempertimbangkan inklusifitasnya pada ilmu pengetahuan umum –sebab ilmu organisasi dan manajemen merupakan bagian dari ilmu umum. Kedua bidang keilmuan tersebut dapat diajarkan secara teoritis melalui jenjang pendidikan formal, maupun secara praktis melalui pembentukan organisasi internal pesantren atau pengikutsertaan para santri dalam organisasi eksternal pesantren.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren Khalaf. Pesantren Khalaf yang titik tekannya hanyalah penguasaan santri terhadap ilmu agama, sangat tidak memungkinkan untuk memberikan perhatian secara khusus terhadap keterampilan mengorganisir dan memanaj santri. Ditambah lagi dengan rutinitas pesantren Khalaf yang cendrung dipadati dengan kegiatan pembelajaran dan penguasaan kitab klasik –baik itu melalui sistem sorogan,bendongan, wetonan ataupun sistem musyawarah.

Terkait dengan problematika pesantren Salaf ini, refofmasi secara masif sangatlah sulit untuk dilakukan. Lebih-lebih setelah melihat otoritas penuh yang dimiliki oleh masing-masing pimpinan pesantren atau Kyai serta kecendrungannya yang tidak bisa dipukul rata. Oleh Karen itu, maka perlu dilakukan reformasi secara bertahap serta memaksimalkan peluang yang ada.

Secara praktis, keterampilan berorganisasi serta menejemennya dapat dilatih melalui maksimalisasi kerja kelompok. Baik itu dalam kegiatan edukatif maupun non edukatif, seperti halnya kelompok piket membersihkan lingkungan pesantren. Kemampuan dasar, seperti penanaman dan pengembangan jiwa kepemimpinan, kecakapan berkomunikasi, bekerjasama, dan timing dapat ditumbuhkembangkan melalui pengelompokan ini. Sebab dalam dinamika kelompok, memimpin, berkomunikasi, bekerjasama, dan pengaturan waktu demi tercapainya tujuan bersama merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Wallahu a’lam bis shawaab.

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

PEMUDA DAN PILAR KELIMA

| 0 komentar

Tulisan oleh: Noer Hasanatul Hafshaniyah 

13 Desember kemarin, saya mengikuti sebuah seminar sehari yang mengusung tema “Menguak Genealogi Kekerasan dan Posisi Empat Pilar Kebangsaan Di Tengah Arus Kebebasan”. Dalam seminar yang terselenggara berkat kerjasama Gerakan Alam Pkir (Gerak Api), Forum Pemuda Cinta Tanah Air dan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia itu, hadir 3 orang yang dipandang ahli, sebagai narasumber. Salah satunya adalah seorang mantan anggota MPR.

Seminar kali itu tidak jauh berbeda dengan seminar-seminar kebanyakan; acara dengan format acara formal, diisi dan dihadiri oleh ‘orang-orang formal’, dan bisa jadi pula dengan bahan pembahasan yang –sebatas- formal(itas). Saya bukan tipe orang yang memandang sinis acara-acara semacam itu. Akan tetapi, jika segala apa yang diwacanakan hanya berhenti pada tahap pembicaraan dan konsep saja, maka sangat pas jika dianalogikan sebagai pisau tumpul; ada namun tanpa makna dan fungsi.

Pada sesi tanya-jawab, ada pertanyaan yang menarik untuk ditinjau ulang. Pertanyan yang disampaikan oleh salah satu audiens kepada seluruh marasumber yang hadir itu sebenarnya merupakan pernyataan yang mempertanyakan ulang finalitas 4 pilar kebangsaan. Dalam kaca mata Si penenya, empat pilar kebangsaan yang berupa pancasila, UUD ’45, NKRI, serta Bhineka Tunggal Ika kurang lengkap dan perlu disempurnakan dengan pemuda. Dia menginginkan 4 pilar kebangsaan direvisi menjadi 5 pilar dan bagian yang kelima adalah pemuda, khususnya mahasiswa.

Alasan historis dikemukakan oleh Si penanya itu. Gerakan reformasi 1998 yang yang digawangi oleh hampir mahasiswa seluruh Indonesia, telah berhasil menumbangkan rezim orde baru, setelah puluhan tahun berkuasa di bumi nusantara ini. gerakan yang mengusung tuntutan reformasi dan dihapusnya KKN tahun1997-1998 ini menjadi suatu bukti nyata besarnya kekuatan kaum muda, khususnya mahasiswa, serta signifikansi posisi mereka dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun saat ini yang justru jadi persoalan adalah apakah pemuda hari ini dapat disamakan secara kualitas, kuantitas, integritas, komitmen kebangsaan dan idealisme dengan kaum muda kala itu? Proses ‘melihat ke dalam’ saya rasa penting untuk dilakukan sebelum memberikan jawaban secara tegas dan jelas atas pertanyaan di atas.

Menjadi pilar kebangsaan sama dengan melindungi dan menjaga bangsa dan Negara agar tidak ambruk dan bubar. Sama halnya dengan sebuah bangunan, pilar sama pentingnya dengan pondasi. Oleh karena itu, memperhatikan kekokohan pilar sama pentingnya dengan mengindahkan kekokohan pondasi. Dan pilar yang kokoh ditentukan oleh material yang bermutu serta didukung oleh kuantitas memadai.

Lewat analogi di atas, saya ingin menyampaikan bahwa untuk menjadi pilar kebangsaan, pemuda haruslah memilki integritas, loyalitas, idealisme, serta kualitas keilmuan yang mumpuni. Sebab jika tidak, maka posisi pemuda yang diinginkan menjadi pilar bagi bangsa ini akan kropos dan kemudian runtuh.

Namun tentu saja sangat tidak adil jika semua pemuda hari ini dipandang lebih rendah kualitasnya dengan kaum muda dahulu. Hari ini, tentu masih ada beberapa pemuda yang tetap berpijak pada idealismenya. Namun yang jadi persoalan adalah, seberapa baanyak yang demikian, lebih-lebih setelah memiliki kedudukan di jajaran kepemerintahan.

Ada ungkapan masyarakat umum di daerah saya –tanpaknya terdapat pula di daerah lain, tentu dengan pengungkapan bahasa yang berbeda- yang sekilas tanpak bernada sinis dan penuh pesimistis, namun sejatinya mengandung nilai kebijakan yang sangat. Ungkapan itu berbunyi, ‘jhet kecca’ mun tak katebenan dibhi’’ (memang sok kalau tidak mengalami sendiri; bahasa Madura, red.). Ungkapan itu cukup memberi saya cambukan agar tidak banyak komentar tentang seseorang yang ‘keluar dari rel’. Sebab, bila saya berada di posisinya, belum menjamin kalau saya dapat lebih baik dari mereka ketika mengalami hal yang sama.

Saya pribadi cukup memdapatkan pelajaran tentang idealisme pemuda atau spesifiknya idealisme mahasiswa dalam film dokumenter Gie.

Begitu narasi dalam salah satu adegan yang diangkat dari catatan Soe Hok Gie, seorang aktivis idealis pada masa orde lama itu. ‘semoga apa yang lo perjuangkan tidak luntur sama diplomasi2 dan lobi2 untuk mempertahan posisi lo d sana.’ Begitu komentar Gie pada Jak, temannya, sesama aktivis yang dahulu sama-sama teguh memegang idealismenya.

Tokoh yang saat ini duduk di kursi kepemerintahan dan banyak menggayang uang rakyat, dulunya juga seorang mahasiswa yang idealis. Namun pada kenyataannya saat ini, ketika mereka menduduki posisi orang-orang yang dulunya mereka kecam habis-habisan, mereka menjadi melempem. Suara mereka yang dulunya lantang meneriakkan keadilan dan kebenaran, saat ini berbisikpun kesulitan.

Fenomena yang tanpaknya telah menyejarah itu, mengajarkan kita, kaum muda untuk segera berbenah. Bila tidak, ‘pemuda hari ini sebagai pemimpin masa depan’ hanya akan bertahan pada taraf semboyan dan jargon. Pemuda menjadi pemimpin masa depan, itu hal yang pasti. Karena memang pada eranya nanti sosok-sosok yang saat ini tanpak belialah yang memiliki masa untuk menggantikan mereka, para tua yang telah udzur. Tapi menjadi pemimpin yang bagaimana? Akankah menjadi pemimpin yang tidak jauh berbeda dengan para pemimpin pendahulu mereka?

"Penulis adalah kader HMI komfak tarbiyah"
Continue Reading

MASIH PANTAS-KAH UJIAN NASIONAL DIPERTAHANKAN?

| 0 komentar

Tulisan oleh: Moh Edi Komara

Dewasa ini, hampir seluruh media elektronik sedang gencar-gencarnya memberitakan tentang carut-marut Ujian Nasional tahun 2013. Padahal baru selang beberapa hari, sudah ada beberapa temuan kecacatan dalam ujian nasional yang dilaksanakan secara serempak diseluruh provinsi negara Indonesia. Entah apa gerangan yang melatarbelakangi carut marut UN tahun ini. Mungkinkah ada beberapa kelompok yang merekonstruksi kecacatan ini atau ada unsur politik dibalik kecacacatan yang selalu digembor-gemborkan oleh media elektronik. Hal tersebutlah yang membuat penulis resah, selaku calon praktisi pendidikan yang akan berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan yang sudah tidak jelas arah tujuan dari pendidikan itu sendiri, sudah saatnya penulis memberikan beberapa kritik dan masukan kepada institusi yang melatarbelakangi pelaksanaan Ujian Nasional dan seluruh pihak yang ikut andil dalam pelaksanaanya dari masa ke masa guna keefektivan dan relevansi penyelenggaraan UN di masa mendatang serta perbaikan kualitas pendidikan di tanah surga ini (katanya).

 Adapun beberapa temuan kecacatan yang ditemukan oleh insan media dalam penyelenggaraan ujian nasional tahun ini adalah sebagai berikut :

1. Penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi, hal tersebut disebabkan karena lambatnya distribusi soal dari percetakan yang direkomendasikan oleh MENDIKBUD.

2. Masih adanya tradisi contek-menyontek antar siswa ketika pelaksanaan ujian nasional berlangsung dan terekam jelas oleh insan media.

3. Kualitas kertas lembar jawaban kurang baik dan hal tersebut menimbulkan rasa kekhawatiran dalam diri siswa, jawaban yang ditulisnya tidak dapat diidentifikasi oleh alat pemeriksa jawaban UN.

Dan masih banyak lagi seabreg kecacatan yang mengindikasikan bahwa penyelnggaraan UN tahun ini gagal. Hal senada pun diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh bahwa penyelenggaran UN tahun ini memang sangat berat dari tahun-tahun sebelumnya, selain ia harus turun langsung mengontrol pelaksanaan UN dia juga harus memverifikasi tentang keterlambatan penyetakan soal yang berdampak kepada penundaan pelaksanaan UN di beberapa provinsi.

Oleh sebab itu sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang secara kritis dan obyektif, apakah masih perlu UN dipertahanakan dan tetap dilaksanakan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Karena banyak hal yang direspon tidak baik oleh kebijakan UN, diantaranya sebagai berikut kebijakan UN bertentangan kebijakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) indikasinya KTSP berupaya untuk memenuhi kebutuhan siswa kontekstual dengan memberikan materi pelajaran yang khas lokal seperti bahasa daerah, tari-tarian atau kesenian local. Kemudian hal yang lebih ditekankan dalam KTSP adalah memberikan kewenangan kepada guru di sekolah-sekolah untuk berkreasi menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, lingkungan disekelilingnya. Hal tersebut tentu berbeda 180 derajat dengan kebijakan UN yang mengambil fokus sentralisasi dan standar tunggal dalam ujian. Bagaimana bisa kualitas pendidikan yang orientasi pembelajarannya plural dapat diukur dan diuji dengan standar tunggal?. Jadi antara kebijakan pemerintah yang mengatakan bahwa penyusunan kurikulum yang diberikan otoritas penuh kepada setiap sekolah bertentangan langsung dengan adanya kebijakan UN yang selalu dipertahankan oleh pemerintah dari tahun ke tahun.

Selanjutnya tidak dapat dipungkiri, memang besar sekali alokasi dana untuk penyelanggaraan UN dari tahun ke tahun. Indikasinya untuk tahun 2011 saja jumlah dana UN sebesar 580.000.000.000 dengan jumlah peserta UN 10.409.562 siswa (suara pembaruan 8/1/10). Hal tersebut sungguh sangat mencengangkan, padahal pada realitanya arah tujuan penyelenggaraan UN itu sendiri hingga saat ini belum jelas tujuanya. Apakah untuk mengukur kualitas pendidikan atau pemborosan uang Negara saja?. Alangkah lebih baiknya apabila para birokrasi mengalokasikan dana yang sangat besar itu untuk pembangunan beberapa infrastruktur dan meningkatkan sarana serta prasarana di masing-masing sekolah khusunya bagi sekolah-sekolah yang berdomisili di daerah pinggiran sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancer dan lebih efektif.

Jadi, melihat dinamika yang terjadi sekitar pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, penulis menekankan kepada para aparatur Negara khususnya pihak penyelanggara UN untuk mengkaji ulang dan meng-evaluasi secara kritis kerelevansian pelaksanaan UN dalam dunia pendidikan dalam konteks keindonesian sekarang ini. Kemudian indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan siswa tidak bisa hanya dengan beberapa mata pelajaran, melainkan seluruh proses pendidikan mulai dari awal proses pembelajaran berlangsung hingga akhir. Penilaian hendaknya tidak hanya diberlakukan pada pelajaran yang bersifat exacta saja, tetapi menilai aspek afektif siswa juga seperti sikap, perilaku, budi pekerti, keuletan,kepemimpinan dan lain sebagainya. Menilai secara keseluruhan aspek yang terkandung dalam diri siswa justru lebih hemat tanpa harus menghamburkan banyak biaya sebagaimana penyelangaraan UN, karena penilaian dilakukan sejak dini dan hanya cukup bermodalkan penilaian keseharian secara menyeluruh dan berkelanjutan. Harapanya dengan adanya tulisan sederhana ini kualitas pendidikan di tanah air tercinta akan semakin meningkat guna mempersiapkan generasi bangsa yang kompeten dan berperangai baik.

"

“Penulis adalah Bendahara Umum HMI Komfak Tarbiyah Uin Sunan Kalijaga”. Periode 2012/2013.

"
Continue Reading
 
: